Senin, 30 Januari 2012

PENGARUH APLIKASI MEKANISME CORPORATE GOVERNANCE TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA DAN KINERJA PERUSAHAAN (Studi Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia) Oleh Drs.Sugijanto, M.Ak & Drs.Ec.Rudi Pratono, Ak.MM.






BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Penelitian
Krisis ekonomi, yang diawali oleh jatuhnya perusahaan raksasa Amerika Serikat pada tahun 2008 seperti Lehman Brothers dan Merill Lynch, memberikan efek domino ke negara-negara Eropa dan Asia sehingga mengakibatkan timbulnya krisis ekonomi global. Krisis ekonomi yang mendunia ini terutama sangat dirasakan oleh negara dunia ketiga karena ketergantungan yang tinggi negara-negara tersebut pada negara-negara yang perekonomiannya lebih kuat.
Sebagai pelaku pasar dunia Indonesia juga tidak luput dari hantaman krisis ini. Hal ini diindikasikan dari goyahnya pasar modal, nilai rupiah, terjadinya gangguan likuiditas, turunnya cadangan devisa negara serta timbulnya potensi capital flight. Usaha sementara pemerintah untuk menanggulangi masalah ini di antaranya menaikkan tingkat suku bunga simpanan, meningkatkan limit penjaminan simpanan, pembelian kembali oleh BUMN kuat, dan lain-lain. Namun kebijakan-kebijakan pemerintah ini hanya bersifat situasional dan belum konseptual. Krisis ekonomi global ini juga tidak terlepas dari krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya pada tahun 1997-1998. Sebagaimana diungkapkan oleh Baird (2000) bahwa salah satu akar penyebab timbulnya krisis ini adalah buruknya pelaksanaan tata kelola perusahaan (corporate governance) di hampir seluruh perusahaan baik BUMN maupun perusahaan swasta. Untuk itu, salah satu langkah penting dalam menghadapi krisis ekonomi adalah memperbaiki implementasi corporate governance, sehingga setidaknya mekanisme ini dapat dijadikan suatu kekuatan internal untuk mengurangi efek krisis eksternal. Pada tahun 2006 Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan dan menyempurnakan Pedoman Good Corporate Governance, sehingga dapat dikatakan bahwa sampai saat ini penerapan dan penyempurnaan corporate governance pada perusahaan-perusahaan di Indonesia relatif masih baru. Pada dasarnya corporate governance merupakan suatu sistem yang dapat mengidentifikasi dan menyelaraskan semua kepentingan dalam perusahaan, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan dapat terarah, terkendali dan berada pada jalurnya. Hal ini berarti corporate governance dapat mengurangi biaya agensi yang timbul dari hubungan antara prinsipal dan agen. Seperti yang dikemukan dalam teori agensi Jensen dan Meckling (1976), konflik kepentingan dan asimetri informasi antara prinsipal dan agen ini membuka jalan  bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Jatuhnya perusahaan kelas dunia seperti Enron, Merck, WorldCom dalam waktu yang relatif singkat, bahkan mendeklarasikan kebangkrutan justru setelah hasil audit keuangan perusahaannya dinyatakan wajar tanpa syarat oleh kantor akuntan publik yang kredibel dan profesional. Manajemen laba di Indonesia terkuak dari deteksi adanya manipulasi laporan keuangan oleh PT. Lippo, Tbk., PT. Kimia Farma, Tbk. Hal ini membuktikan implikasi manajemen laba yang begitu luas baik di negara maju maupun Negara berkembang, sehingga hal ini mendorong perhatian publik tentang keberadaan corporate governance. Dengan mekanisme corporate governance praktik manajemen laba tersebut dapat diminimalkan sehingga manajer menyampaikan informasi akuntansi yang berkualitas yang dapat menunjukkan kinerja perusahaan yang sebenarnya dan pada akhirnya mekanisme corporate governance diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pemegang saham dan mengakselerasi kinerja perusahaan.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini menguji tentang “Pengaruh Aplikasi Mekanisme Corporate Governance Terhadap Praktik Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan: Studi Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia”. Dipilihnya perusahaan publik sebagai obyek penelitian karena perusahaan publik yang merupakan perusahaan yang memobilisasi dana dari masyarakat lebih memiliki pertanggung jawaban secara hukum dan terikat pada peraturan pemerintah tentang tata kelola perusahaan yang baik, sehingga diasumsikan bahwa tata kelola pada perusahaan publik lebih baik daripada perusahaan non publik. Perusahaan manufaktur dijadikan sebagai sampel penelitian dengan alasan adalah agar terdapat homogenitas dalam pengujian pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba dan kinerja perusahaan.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut:
1.      Apakah aplikasi mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap praktik manajemen laba?
2.    Apakah aplikasi mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap kinerja perusahaan?
1.3  Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.    Untuk menguji secara empiris pengaruh aplikasi mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba.
2.    Untuk menguji secara empiris pengaruh aplikasi mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para praktisi, para investor, para calon investor dan pemerhati pasar modal dalam memberikan wawasan tentang praktik manajemen laba dan mekanisme corporate governance serta sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam menentukan rencana dan pengambilan keputusan investasi, bagi civitas akademisi dan peneliti lain
dalam menambah wawasan dan melengkapi temuan-temuan empiris sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.


BAB II
TELAAH TEORITIS
DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

2.1  Landasan Teori
2.1.1   Teori Keagenan
Dalam teori keagenan Jensen dan Meckling (1976), hubungan agensi (agency relationship) terjadi ketika pemilik perusahaan memperkerjakan atau mengontrak agen (agent) yaitu manajer untuk memberikan jasanya dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepadanya. Untuk menunjukkan kinerja keuangan perusahaan sebagai pertanggungjawaban manajer kepada pemegang saham, agen memberikan informasi keuangan dalam bentuk laporan keuangan. Selain pihak intern, laporan keuangan juga penting bagi pihak ekstern misalnya pemegang saham, investor potensial, kreditor, bursa efek, pemerintah, karyawan, supplier, dan stakeholders lainnya.
Manajer sebagai pengelola perusahaan mempunyai kontak langsung dan lebih mengetahui prospek dan peristiwa-peristiwa signifikans dalam perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham. Keadaan ini menimbulkan asimetri informasi (asimetry information) di antara keduanya, sehingga menyebabkan prinsipal berada dalam kondisi dengan ketidakpastian paling besar.
Dalam asimetri informasi terjadi ketidakseimbangan dalam perolehan informasi penyedia informasi (manajemen) dengan pengguna informasi (pemegang saham). Menurut Scott (2009), terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1.    Adverse selection, yaitu manajer tidak menyampaikan informasi kepada pemegang saham sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan.
2.    Moral hazard, yaitu manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuanpemegang saham yang melanggar kontrak dan secara etika atau norma tidak layak dilakukan.
Ketidakseimbangan informasi antara pemilik perusahaan dan manajer memicu manajer untuk menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Hal ini didukung dengan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) di antara mereka. Ada kemungkinan agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik prinsipalnya (Jensen dan Meckling, 1976) yaitu dengan bertindak oportunis untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Kondisi ini menyebabkan timbulnya masalah agensi (agency problem) yang terwujud dalam pelaporan keuangan yang menyesatkan oleh manajer kepada pemegang saham dan stakeholder lainnya mengenai kinerja perusahaan. Perilaku manajer ini dimanifestasikan dengan melakukan manajemen laba (earnings management).
2.1.2   Manajemen Laba
Dalam laporan keuangan, laba merupakan parameter untuk mengukur kinerja perusahaan saat ini dan prospek keuangan perusahaan di masa yang akan datang. Dalam penyusunannya, manajemen memiliki kelonggaran dalam pemilihan alternatif pencatatan transaksi keuangan. Hal ini memberi peluang bagi manajer untuk melakukan perekayaan laba (manajemen laba).
Rosenzweig dan Fischer (1994) mendefinisikan manajemen laba sebagai  “the actions of manager that are intended to increase (decrease) current reported  earnings of the unit for which the manager is responsible without generating a corresponding increase (decrease) in the long-term economic profitability of the  unit” (Gumanti, 2000). Menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba  terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa  stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi hasil  perjanjian (kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang  dilaporkan.
Menurut Scott (2009) terdapat beberapa faktor yang merupakan motivator  bagi manajer melakukan manajemen laba, yaitu:
1.    Rencana bonus (bonus scheme). Manajer akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan untuk memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.
2.    Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant). Semakin tinggi rasio hutang terhadap ekuitas suatu perusahaan atau semakin dekat suatu  perusahaan terhadap waktu pelanggaran perjanjian hutang, manajer akan  cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat memindahkan laba  periode mendatang ke periode berjalan dengan tujuan untu meminimalkan kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak hutang.
3.    Motivasi politik (political motivation). Perusahaan-perusahaan yang berskala besar dan merupakan industri strategis cenderung untuk menurunkan laba guna mengurangi tingkat visibilitasnya terutama saat  periode kemakmuran yang tinggi. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah. Motivasi ini juga dimiliki oleh perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap regulasi antitrust dan antimonopoli atau perusahaan yang mengalami damage award dalam mempengaruhi keputusan pengadilan.
4.    Motivasi perpajakan (taxation motivation). Tujuan perusahaan mengurangi laba yang dilaporkan adalah untuk dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus dibayar .
5.    Pergantian CEO (Chief Executive Officer). CEO yang menjelang pension atau masa kontraknya akan berakhir memiliki motivasi untuk melakukan  strategi memaksimalkan laba yang dilaporkan dengan tujuan untuk  meningkatkan nilai bonus yang akan terima. Hal serupa juga akan dilakukan oleh manajer yang memiliki kinerja yang buruk dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari pemecatan.
6.    Penawaran saham perdana (initial public offering). Perusahaan yang akan melakukan penawaran saham perdana akan berusaha memberikan sinyal yang baik tentang nilai perusahaan kepada calon investor dengan  meningkatkan laba yang dipublikasikan dalam prospektus.
Ayres (1994) mengungkapkan bahwa ada tiga faktor yang dapat dihubungkan dengan timbulnya praktik manajemen laba, yaitu manajemen akrual (accruals management), penerapan kebijakan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting changes), dan perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes). Accruals management biasanya dihubungkan dengan aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan keuntungan yang merupakan wewenang dari manajer (managers’ discretion). Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan (revenues), mengklasifikasikan sebagai beban biaya (diamortisasi) atau tambahan investasi (dikapitalisasi) atas suatu biaya dan perkiraan-perkiraan akuntansi lainnya.
Faktor yang kedua berhubungan dengan keputusan manajer dalam menerapkan kebijakan akuntansi yang wajib lebih awal atau menunda sepanjang hasil penerapannya memberi manfaat baik bagi perusahaan maupun manajer.
Faktor ketiga berhubungan dengan upaya manajer mengganti atau merubah suatu metode akuntansi tertentu dari banyaknya metode yang dapat dipilih, tersedia dan diakui oleh badan akuntansi yang ada, misalnya merubah metode penilaian persediaan dari FIFO ke LIFO atau sebaliknya, merubah metode penyusutan aktiva dari metode penyusutan garis lurus ke metode penyusutan dipercepat atau sebaliknya.
Praktik manajemen laba menimbulkan implikasi kepada semua pihak baik pembuat maupun pengguna informasi keuangan. Manajer menanggung implikasi terhadap kemungkinan kesulitan keuangan atau kebangkrutan di masa depan. Investor kemungkinan akan kehilangan kesempatan memperoleh return dan kehilangan modal yang telah ditanamnya. Kreditor akan kehilangan kesempatan mendapat return dan memperoleh kembali dana yang dipinjamkan kepada perusahaan. Pemerintah menanggung kehilangan kesempatan memperoleh pendapatan melalui integritas dan kredibilitasnya karena regulasinya mudah dipermainkan. Dan masyarakat harus menanggung implikasi hancurnya perekonomian.
2.1.3   Corporate Governance
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan teori agensi untuk meminimalkan masalah keagenan yang terjadi antara prinsipal dan agen. Mekanismenya memberikan pengendalian yang efektif untuk mengarahkan kegiatan operasional dan mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam perusahaan, sehingga dapat memastikan atau meyakinkan pemilik modal bahwa manajer melakukan tindakan terbaik demi kepentingan perusahaan dengan memberikan pengembalian atau return atas investasi yang ditanamnya (Shleifer dan Vishny, 1997). Dalam hal ini, corporate governance diharapkan dapat mengurangi dorongan manajemen melakukan manajemen laba sehingga kinerja perusahaan yang dilaporkan mencerminkan  keadaan ekonomi yang sebenarnya (Shleifer dan Vishny, 1997).
Di Indonesia, pemerintah melalui Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan pedoman good corporate governance yang telah disempurnakan pada tahun 2006.
Asas good corporate governance menurut KNKG (2006) yaitu sebagai berikut:
1.    Transparansi (transparency).
Perusahaan harus menyediakan informasi material dan relevan yang mudah diakses dan dapat dipahami oleh pemangku kepentingan dan mengungkapkan masalah dan hal penting untuk pengambilan keputusan.
2.    Akuntabilitas (accountability).
Perusahaan harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya yang berkesinambungan kepada pemangku kepentingan. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan.
3.    Responsibilitas (responsibility).
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4.    Independensi (independency).
Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.    Kewajaran dan kesetaraan (fairness).
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan.
Penerapan mekanisme corporate governance dapat meminimalisasi praktik manajemen laba yang bertujuan untuk menyelaraskan kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Pada akhirnya, menurut The Dey Report (1994) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) mengemukakan bahwa corporate governance yang efektif dalam jangka panjang dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan menguntungkan pemegang saham.
Mekanisme corporate governance tersebut antara lain dapat dilakukan melalui proporsi kepemilikan saham tertentu oleh institusi dan manajer, peran komisaris independen dan komite audit.
2.1.3.1 Kepemilikan Institusional
Pemisahan pengelolaan perusahaan dari kepemilikan merupakan salah satu ciri perekonomian modern. Menurut teori agensi (Jensen & Meckling, 1976), pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga profesional (agen) yang lebih mengetahui dalam menjalankan bisnis. Tujuannya yaitu agar pemilik memperoleh keuntungan maksimal dengan biaya yang efisien.
Teori keagenan mengemukakan jika antara pihak prinsipal (pemilik) dan agen (manajer) memiliki kepentingan yang berbeda, maka akan timbul konflik yang disebut masalah keagenan (agency problem).
Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat dua agency problem potensial yang berkaitan dengan kepemilikan, yaitu agency problem antara manajemen dan pemegang saham (Jensen dan Meckling, 1976) dan agency problem antara pemegang saham mayoritas dan minoritas (Shleifer dan Vishny, 1997). Agency problem yang pertama terjadi jika kepemilikan tersebar di tangan banyak pemegang saham sehingga tidak satu pihak pun yang dapat atau yang mau mengontrol manajemen, sehingga manajemen relatif tanpa kontrol dalam menjalankan perusahaan sehingga perusahaan dikelola sesuai dengan keinginan manajemen sendiri. Agency poblem yang kedua menyebabkan pemegang saham mayoritas memiliki kendali absolut sehingga dapat melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri dan merugikan pemegang saham minoritas.
Mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional mempunyai kemampuan untuk mengendalikan manajemen dengan memonitor secara efektif perilaku manajer sehingga meminimalkan tindakan manajemen laba. Investor institusional yang besar memiliki peluang, sumber dan kemampuan untuk memonitor, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer (Cornett et al., 2006). Semakin tinggi kepemilikan institusional dalam perusahaan diharapkan semakin kecil manajemen laba yang terjadi.
Di samping itu, investor institusional dianggap sebagai investor yang canggih, sehingga lebih dapat menggunakan informasi laba periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor  noninstitusional (Siregar & Utama, 2005). Semakin tinggi kepemilikaninstitusional dalam perusahaan semakin meningkatkan kinerja perusahaan.
2.1.3.2 Kepemilikan Manajerial
Selain kepemilikan institusional, mekanisme yang dapat mengatasi masalah keagenan adalah dengan meningkatkan proporsi kepemilikan manajerial (Jensen & Meckling, 1976). Dengan mengakselerasi kepemilikan manajerial, diharapkan manajer dapat akan termotivasi untuk bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham yang juga dirinya sendiri. Definisi kepemilikan manajerial adalah terdapatnya anggota dewan direksi dan dewan komisaris yang memiliki saham pada perusahaan tempat mereka mengelola dan mengawasi perusahaan yang bersangkutan.
Dalam pengelolaan perusahaan, motivasi yang berbeda antara manajer yang sekaligus sebagai pemegang saham (owners-manager) dan manajer yang tidak sebagai pemegang saham (nonowners-manager) akan mempengaruhi perilaku manajemen laba. Oleh karena itu mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial yang tinggi dapat menekan kemungkinan perilaku manajer dalam melakukan earnings management, dan sebaliknya.
Di samping itu, kepemilikan manajerial yang dapat meyelaraskan kepentingan antara prinsipal dan agen, akan meningkatkan kesejahteraan pemegang saham yang juga dirinya sendiri, sehingga akan menaikkan kinerja perusahaan. Semakin tinggi proporsi kepemilikan manajerial, semakin tinggi pula kinerja perusahaan yang akan dicapai.
2.1.3.3 Komisaris Independen
Kepengurusan perusahaan di Indonesia menganut sistem dua badan (two board system) yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Kedua dewan ini mempunyai wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing sebagaimana dicantumkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Dewan komisaris dan dewan direksi juga mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kesinambungan usaha perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tugas dewan komisaris adalah melakukan pengawasan atas kebijakan dan jalannya pengurusan, dan memberikan nasihat kepada direktur untuk kepentingan perusahaan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Menurut konsep good corporate governance, perusahaan akan memperoleh nilai perusahaan (value of the firm) yang maksimal apabila fungsi dan tugas masing-masing pelaku organisasi bisnis modern dapat dipisahkan. Salah satunya adalah dengan membentuk dewan komisaris. Di Indonesia dewan komisaris ditunjuk dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan harus melalui proses yang transparan. Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya dewan komisaris harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan mempertahankan independensi dan keprofesionalannya. Selain mengawasi dan memberikan saran kepada direktur, fungsi lain dari dewan komisaris adalah membentuk komite khusus seperti komite audit, komite nominasi dan remunerasi, komite kebijakan resiko dan komite kebijakan corporate governance.
Komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif, tepat dan cepat. Dewan komisaris harus terdiri dari anggota-anggota yang dapat bertindak secara bebas dan tidak memiliki kepentingan tertentu yang dapat mempengarui kemampuannya dalam menjalankan tugas. Dewan komisaris harus independen  dan kritis dalam hubungannya dengan sesama anggota dewan komisaris dan dewan direksi. Selain itu, dewan komisaris juga harus memonitor efektifitas dari pelaksanaan dan penerapan corporate governance dan melakukan perubahan jika diperlukan.
Dewan komisaris tidak berasal dari pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, perusahaan itu sendiri, mantan anggota direksi serta karyawan perusahaan. Dewan komisaris independen ini harus bebas dari pengaruh dewan direksi dan pemegang saham pengendali, Oleh karena itu pemilihan komisaris independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat disalurkan melalui komite nominasi dan remunerasi, sehingga dapat memberikan  perlindungan yang nyata bagi kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan minoritas. Menurut Surat Edaran Bapepam Nomor SE.03/PM/2000  dan Peraturan Pencatatan Efek Nomor 339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001,  perusahaan publik yang tercatat di bursa wajib memiliki jumlah anggota dewan komisaris yang memenuhi kualifikasi sekurang-kurangnya 30% dari seluruh  jumlah anggota komisaris perusahaan.
Dunn (1987) dalam Cornett et al. (2006) menyatakan dewan komisaris yang didominasi oleh outsiders lebih baik dalam memonitor dan mengontrol manajer. Dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari luar perusahaan (komisaris independen) memberikan kontribusi secara efektif terhadap kecenderungan praktek manajemen laba. Selain itu, menurut Fama dan  Jensen (1983), non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak  sebagai mediator dalam perselisihan yang terjadi antarmanajer internal, sebagai pengawas kebijakan manajer dan pemberi saran kepada manajer.
Dewan komisaris independen dalam fungsinya sebagai pengawas, juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas pengelolaan perusahaan direksi. Untuk itu peranan komisaris independen terhadap tanggung jawab manajemen dalam meningkatkan kesejahteraan pemegang saham dan  kinerja perusahaan sangat diperlukan. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah  komisaris independen, semakin rendah pengelolaan laba yang dilakukan manajer dan diharapkan semakin meningkatkan kinerja perusahaan.
2.1.3.4 Komite Audit
Keberadaan komite audit pada saat ini telah diterima sebagai suatu bagian dari tata kelola organisasi perusahaan yang baik (good corporate governance). Komite audit perusahaan publik dibentuk dan bertugas membantu dewan komisaris. Tugas komite audit antara lain adalah memastikan bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen. Komite audit harus bertanggung jawab kepada dewan komisaris.
Berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam Nomor KEP-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004 perihal keanggotaan komite audit, disebutkan bahwa jumlah  anggota komite audit sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, termasuk ketua komite audit. Jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan. Komite audit diketuai oleh komisaris independen dan anggotanya dapat terdiri dari komisaris dan atau pelaku profesi. Salah seorang anggota memiliki latar belakang dan kemampuan akuntasi dan atau keuangan. Anggota komite audit harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Yang dimaksud eksternal adalah pihak di luar perusahaan yang bukan merupakan komisaris, direksi dan karyawan. Independen berarti tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan afiliasi dengan perusahaan, komisaris, direksi dan pemegang saham utama serta mampu memberikan pendapat profesional secara bebas sesuai dengan etika profesionalnya dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Sommer (1991) berpandangan bahwa komite audit di banyak perusahaan  masih belum melakukan tugasnya dengan baik. Banyak komite audit yang hanya  sekedar melakukan tugas-tugas rutin, seperti review laporan dan seleksi auditor  eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara  mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab dari  manajemen. Penyebabnya disinyalir bukan saja kurangnya kompetensi dan  independensi yang memadai, tetapi juga karena komite audit kurang memahami peran pokoknya. Kalbers & Fogarty (1993) telah melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komite audit. Hasil penelitian yang  dimuat di Auditing A Journal of Practice & Theory berjudul “Audit Committee  Effectiveness: An Empirical Investigation of the Contribution of Power”, antara  lain mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang dominan yang berpengaruh terhadap keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya, yaitu :
1. Kewenangan formal dan tertulis bagi komite audit.
2. Kerjasama manajemen.
3. Kualitas (kompetensi) personil dari komite audit.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya adalah masalah komunikasi. Komite audit harus meningkatkan komunikasi dengan dewan komisaris, manajemen, auditor internal dan eksternal. Adanya komunikasi yang lancar antara komite audit dengan berbagai pihak tersebut dapat menunjukkan eksistensi komite audit lebih efektif dan dapat meringankan tugas komisaris dalam mengawasi jalannya perusahaan.
Tanggung jawab komite audit dalam memberikan kepastian seperti disebut di atas merupakan mekanisme corporate governance agar perusahaan tunduk pada undang-undang dan peraturan yang berlaku dan untuk mempertahankan kontrol yang efektif terhadap benturan kepentingan dan manipulasi terhadap perusahaan. Waterhouse (1980) dan McMullen (1996) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan bahwa investor, analis, dan regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi integritas dan kredibilitas dalam kualitas laporan keuangan, sehingga dapat mengurangi pengukuran dan pengungkapan akuntansi tidak tepat dan mengurangi tindakan kecurangan manajer dan tindakan ilegal. Oleh karena itu semakin besar ukuran audit semakin kecil manajemen laba yang terjadi, dan semakin tinggi kinerja perusahaan.
2.1.4   Kinerja Perusahaan
Nilai perusahaan mencerminkan kinerja keuangan fundamental perusahaan yang diukur dari laporan keuangan. Dalam laporan keuangan tercermin nilai-nilai perusahaan yang bermanfaat bagi pemegang saham  dan manajer dalam mengambil keputusan.
Salah satu ukuran kinerja perusahaan adalah ROA (return on assets). ROA diperoleh dari pembagian antara laba bersih (net income) dengan total aktiva (total asets). Hasil dari pembagian ini menunjukkan kemampuan aktiva  perusahaan dalam memperoleh laba bersih. Hal ini menunjukkan efektifitas  perusahaan dalam mengubah dananya untuk memperoleh laba bersih. Semakin  besar nilai ROA, semakin baik perusahaan mengelola investasinya menjadi keuntungan.
ROA memcerminkan peran manajer untuk membuat pilihan yang bijaksana dalam mengalokasikan sumber dayanya. Dalam hal ini, manajer harus  dapat mengakselerasi profit yang tinggi dari investasi yang sedikit mungkin.
2.2.  Penelitian Terdahulu
Diperlukan suatu mekanisme yang dapat membatasi praktik manajemen laba ini. Corporate governance merupakan konsep yang dapat memberikan pengawasan dalam mengurangi praktik earnings management.
Beberapa mekanisme corporate governance ini diindikasikan antara lain dengan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, peran komisaris independen dan komite audit.
Prosentase jumlah saham tertentu milik institusi dari seluruh jumlah saham perusahaan dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak  menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan manajemen.
Hubungan negatif antara kepemilikan institusional dengan pengelolaan laba ini dibuktikan oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), dan Midiastuty dan Machfoedz (2003), Cornett et al. (2006). Dalam Cornett et al. (2006), penelitian McConnell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) menemukan bukti bahwa monitoring yang dilakukan oleh korporasi dapat membatasi perilaku manajer. Namun Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan kepemilikan institusional tidak berpengaruh secara signifikans terhadap earnings management.
Dengan proporsi kepemilikan manajemen dalam perusahaan, seorang manajer akan berupaya lebih kuat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri, sehingga kepemilikan manajerial dapat berpengaruh secara negatif terhadap tindakan manajemen laba. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan Midiastuty dan Mahfoedz (2003).
Perusahaan yang memiliki dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan (outside directors) dapat berpengaruh secara negatif terhadap tindakan manajemen laba. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dechow et al. (1996),Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006), Xie et al. (2003), Cornett etal. (2006).
Chtourou et al. (2001) membuktikan bahwa earnings management berhubungan secara negatif dengan proporsi anggota komite audit yang bukan merupakan manajer di perusahaan lain. Hasil penelitian Xie et al. (2003) menyimpulkan bahwa dewan dan aktifitas komite audit dan kecanggihan anggota finansialnya merupakan faktor yang penting dalam membatasi earnings management.
Efek mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan diteliti oleh Cornett et al. (2006) dan menghasilkan temuan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaaan. Temuan yang sama juga dibuktikan oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999) menyimpulkan kepemilikan institusional meningkatkan nilai perusahaan. Bhagat dan Bolton (2007) menyimpulkan terdapat pengaruh positif yang signifikansantara kepemilikan manajerial terhadap kinerja operasional.
Gompers et al. (2003) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hak kepemilikan saham yang kuat mempunyai kinerja perusahaan yang lebih tinggi. Demikian pula, Larcker et al. (2005) menyimpulkan bahwa kepemilikan saham dan karakteristik dewan komisaris dan direksi berhubungan dengan kinerja operasional perusahaan. Bukti empiris ini dibuktikan kembali dengan proksi kinerja perusahaan yang lain oleh penelitian Larcker et al. (2007).
Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan bahwa mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan, yaitu kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris dan komite audit berpengaruh positif.
Namun, Bauer et al. (2003) menemukan hubungan yang negatif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diproksikan dengan net profit margin (NPM) dan return on equity (ROE). Di lain pihak, Beiner et al. (2003) bahkan  tidak menemukan pengaruh yang signifikans antara kepemilikan manajerial dan komisaris independen terhadap nilai perusahaan.
2.3.  Pengembangan Hipotesis
Laporan keuangan merupakan sumber informasi sebagai pertanggungjawaban manajemen. Hal ini tidak terlepas dari motivasi manajemen  dalam penyusunannya. Manajemen dapat memilih metode dan mengatur transaksi akuntansi untuk mempengaruhi besaran laba yang dilaporkan. Hal ini membuka  jalan bagi manajer untuk melakukan pengelolaan laba. Untuk membatasi praktik manajemen laba ini dibutuhkan suatu mekanisme tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik.
Pengaruh negatif kepemilikan institusional terhadap pengelolaan laba dibuktikan oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), dan Midiastuty dan Machfoedz (2003), Cornett et al. (2006). Hal ini berarti bahwa monitoring yang dilakukan oleh korporasi dapat membatasi perilaku manajer.
Mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial dapat  mempengaruhi tindakan manajemen laba secara negatif. Temuan ini dibuktikan  dari hasil penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan Midiastuty dan Mahfoedz (2003).
Hasil penelitian Dechow et al. (1996), Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006), Xie et al. (2003), Cornett et al. (2006) membuktikan bahwa komisaris independen merupakan faktor yang berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Mekanisme corporate governance ini berpengaruh secara negatif terhadap tindakan pengelolaan laba.
Chtourou et al. (2001) membuktikan bahwa earnings management berhubungan secara negatif dengan proporsi anggota komite audit yang bukan merupakan manajer di perusahaan lain. Hasil penelitian Xie et al. (2003) menyimpulkan bahwa dewan dan aktifitas komite audit dan kecanggihan anggota finansialnya merupakan faktor yang penting dalam membatasi earnings management.
Mekanisme corporate governance dapat disumsikan mempunyai pengaruh terhadap praktik manajemen laba, sehingga penelitian ini ingin menguji:
H1: Mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan komite audit berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.

Mekanisme corporate governance diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan antara pemegang saham dan manajemen. Pemegang saham dapat memperoleh return atas investasi yang ditanamkan pada perusahaan. Manajer dapat memperoleh kompensasi dan insentif sebagai pertanggungjawabannya  sebagai agen. Penyelarasan kepentingan antara prinsipal dan agen ini tercermin  pada kinerja perusahaan yang dilaporkan.
Efek positif mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan dibuktikan oleh Cornett et al. (2006). Temuan ini didukung pula oleh hasil  penelitian Rajgopal et al. (1999) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional meningkatkan nilai perusahaan. Pengaruh positif yang signifikans antara kepemilikan manajerial terhadap kinerja operasional dibuktikan oleh Bhagat dan Bolton (2007).
Gompers et al. (2003) menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hak  kepemilikan saham yang kuat mempunyai kinerja perusahaan yang lebih tinggi. Demikian pula, Larcker et al. (2005) menyimpulkan bahwa kepemilikan saham  dan karakteristik dewan komisaris dan direksi berhubungan dengan kinerja  operasional perusahaan. Bukti empiris ini dibuktikan kembali dengan proksi kinerja perusahaan yang lain oleh penelitian Larcker et al. (2007). Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan bahwa mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan, yaitu kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris dan komite audit berpengaruh positif.
Dengan demikian, mekanisme corporate governnace berimplikasi pada nilai perusahaan. Untuk itu, hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah ingin menguji:
H2: Mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional,  kepemilikan manajerial, komisaris independen dan komite audit berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan populasi perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan data pooling. Data yang digunakan adalah data archival, yaitu data sekunder berupa annual report untuk memperoleh informasi laporan keuangan, kepemilikan saham oleh institusi, kepemilikan saham oleh manajemen, jumlah anggota komisaris independen dan jumlah personal dalam komite audit. Data diperoleh dari BEI, Bapepam, buku ICMD (Indonesian Capital Market Directory), dan internet.
Metode purposive sampling digunakan untuk memperoleh sampel dengan kriteria sebagai berikut:
1.    Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2006-2009.
2.    Perusahaan yang  mempublikasikan laporan keuangan dengan menggunakan tahun buku yang berakhir pada 31 Desember. Hal ini dilakukan untuk peningkatan komparabilitas atau daya banding sampel.
3.    Perusahaan yang dijadikan sampel memiliki data kepemilikan saham institusi dan manajerial, jumlah anggota komisaris independen dan jumlah personal dalam komite audit.
3.2    Definisi Konseptual
3.2.1 Manajemen Laba
Asimetri informasi dan konflik kepentingan dalam hubungan keagenan antara prinsipal dan agen membuka jalan bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Menurut Healy dan Wahlen (1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan dengan tujuan untuk mempengaruhi besaran (magnitude) laba.
Ayres (1994) mengungkapkan bahwa manajemen laba dapat dilakukan melalui manajemen akrual (accruals management), penerapan kebijakan akuntansi yang wajib (adoption of mandatory accounting changes), dan perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary accounting changes). Accruals management biasanya berhubungan dengan tindakan yang dapat mempengaruhi aliran kas dan laba yang merupakan wewenang dari manajer (managers’discretion). Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan (revenues), mengklasifikasikan sebagai beban biaya (diamortisasi) atau tambahan investasi (dikapitalisasi) atas suatu biaya dan perkiraan-perkiraan akuntansi lainnya.
Praktik manajemen laba menimbulkan implikasi kepada semua pihak baik pembuat maupun pengguna informasi keuangan, baik manajer, investor, kreditor, pemerintah, regulator maupun masyarakat. Oleh karena itu, praktik earnings management perlu dibatasi dengan penerapan mekanisme corporate governance.
3.2.2 Corporate Governance
Investor institusional yang besar memiliki peluang, sumber dan kemampuan untuk memonitor, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer (Cornett et al., 2006). Hal ini disebabkan oleh investor institusional sebagai investor yang canggih lebih dapat menggunakan informasi laba periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor noninstitusional (Siregar & Utama, 2005).
Kepemilikan manajerial yang rendah akan meningkatkan kemungkinan perilaku manajer dalam melakukan earnings management, dan sebaliknya. Dengan proporsi kepemilikan manajemen, seorang manajer akan berupaya lebih kuat untuk memenuhi kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri, sehingga kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba dilakukan melalui fungsi pengawasan terhadap manajemen perusahaan. Dunn (1987) dalam Cornett et al. (2006) menyatakan dewan komisaris yang didominasi oleh outsiders lebih baik dalam memonitor dan mengontrol manajer. Karena itu, komisaris independen memberikan kontribusi secara efektif terhadap kecenderungan praktik manajemen laba.
Waterhouse (1980) dan McMullen (1996) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan bahwa investor, analis, dan regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi integritas dan kredibilitas dalam kualitas laporan keuangan, sehingga dapat mengurangi pengukuran dan pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan mengurangi tindakan kecurangan manajer dan tindakan ilegal.
Dalam jangka panjang, menurut The Dey Report (1994) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) mengemukakan bahwa corporate governance yang efektif dalam jangka panjang dapat miningkatkan kinerja perusahaan dan menguntungkan pemegang saham.
3.2.3 Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan dapat diukur dari pelaporan informasi akuntansi melalui laporan keuangan yang bermanfaat bagi pemegang saham dan manajer  dalam mengambil keputusan. Salah satu ukuran kinerja perusahaan adalah ROA (return on assets). ROA menunjukkan efektifitas perusahaan dalam mengubah dananya untuk memperoleh laba bersih. Semakin besar nilai ROA, semakin baik perusahaan mengelola investasinya menjadi keuntungan.
Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan bahwa mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan, yaitu kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris dan komite audit berpengaruh positif. Cornett et al. (2006) memberikan bukti empiris bahwa mekanisme corporate governance berhubungan positif dengan kinerja perusahaan. Penelitian Bowen et. al. (2003) memberikan hasil sebaliknya. Mereka gagal menemukan hubungan negatif antara manajemen laba dengan tata kelola dan kinerja perusahaan.
Berdasarkan kerangka konseptual tersebut di atas, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat ditunjukkan pada Gambar 3.1 sebagai berikut:






Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian


3.3 Definisi Operasional Variabel
3.3.1 Variabel Dependen
Hipotesis pertama menggunakan variabel dependen earnings management. Dalam penelitian ini, earning management diproksikan dengan discretionary accruals (DACC) yang dihitung dengan The Modified Jones Model. Model ini dianggap sebagai model yang paling baik jika dibandingkan dengan model lain dalam mendeteksi manajemen laba serta memberikan hasil yang paling kuat (Dechow et al., 1995). Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian Whelan dan McNamara (2004) yang menghitung total akrual sebagai selisih antara laba bersih sebelum pos luar biasa dengan aliran kas operasi.


TACCit = NIit - CFOit  ........ (1)
Keterangan:
TACCit : total accruals perusahaan i pada tahun pelaporan t
NIit     : laba bersih sebelum pos luar biasa (net operating income) perusahaan i pada tahun t
CFOit   : aliran kas dari operasi (operating cash flow) perusahaan i pada tahun t
Menghitung nilai  Non Discretionary Accrual  sesuai dengan rumus yang ada, untuk mendapatkan koefisien masing-masing variabel dengan terlebih dahulu pengolahan data dilakukan dengan meregresikan persamaan model Jones dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS), terhadap variabel-variabel (1/ TAit-),  (ΔREVit / TAit-1), dan (PPEit/ TAit-1)  ke  variabel TACCit / TAit-1,  sehingga diperoleh persamaan berikut ini:


 



Keterangan:
TAit-1       :     Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1.
ΔREVit   :    Pendapatan bersih perusahaan i pada tahun t dikurangi pendapatan  perusahaan i tahun t-1.
PPEit      :    Nilai bruto aktiva tetap (gross property, plant and equipment) tahun t.
TACCit   :    total accruals perusahaan i pada tahun pelaporan t

Berdasarkan koefisien regresi di atas, nilai nondiscretionary accruals dihitung dengan formulasi sebagai berikut:
               



Keterangan:
β1, β 2, β 3   :    Koefisien dari variabel independen.    
TAit-1             :    Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1.
ΔREVit         :    Pendapatan bersih perusahaan i tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
ΔREGit         :    Piutang bersih perusahaan i tahun t dikurangi piutang bersih tahun t-1
PPEit             :    Nilai bruto aktiva tetap (gross property, plant and equipment) perusahaan i tahun t.
NDACCit     :    non discretionary accruals perusahaan i pada  tahun t.
Karena total accrualss terdiri dari discretionary accruals dan non discretionary accruals, maka discretionary accrual sebagai proksi manajemen laba, maka:


Keterangan:
DACCit        :    discretionary accruals perusahaan i pada tahun t.
TACCit         :    total accruals perusahaan i pada periode tahun t.
TAit-1                 :     Total aktiva perusahaan i pada periode t-1.
NDACCit     :    non discretionary accruals perusahaan i pada  tahun t.

Hipotesis kedua menggunakan variabel dependen kinerja perusahaan. Proksi yang digunakan adalah return on assets (ROA) yang menunjukkan kemampuan aktiva perusahaan dalam memperoleh laba bersih. Return on assets diukur dengan rumus sebagai berikut:


Keterangan:
ROA     : Return On Assets.
NI         :  Laba bersih (Net Income ).
TA           :  Total aktiva
3.3.2  Variabel Independen
Dalam penelitian ini, hipotesis pertama dan kedua menggunakan mekanisme corporate governance adalah variabel bebas dengan indikator sebagai berikut:
1.    Kepemilikan institusi (KPLKINST).
Variabel ini dihitung dari proporsi banyaknya saham yang berjumlah di atas 5 (lima) persen yang dimiliki oleh institusi dari total saham yang beredar.
2.    Kepemilikan manajerial (KPLKMNJR).
Pengukuran kepemilikan manajerial dilakukan dengan ada tidaknya komisaris dan direksi yang memiliki saham pada perusahaan tempat mereka menjabat.
Dalam penelitian ini, digunakan variabel dummy, bila tidak terdapat proporsi kepemilikan saham oleh pihak manajerial maka diberi nilai 0 (nol) dan jika terdapat proporsi kepemilikan saham oleh pihak manajerial diberi nilai 1 (satu).
3.    Prosentase anggota komisaris independen dalam dewan komisaris (KOMSINDP).
Proksi ini diukur dengan perbandingan antara jumlah anggota komisaris independen dengan jumlah seluruh anggota dewan komisaris dalam suatu perusahaan.
4.    Ukuran personal komite audit (UKRNAUDT).
Sesuai dengan Pedoman Good Corporate Governance Indonesia jumlah personal komite audit adalah 3 (tiga) orang. Dalam penelitian ini digunakan variabel dummy, jika jumlah personal komite audit adalah 3 (tiga) orang atau lebih maka diberi angka 1 (satu). Jika jumlahnya kurang dari 3 (tiga) orang maka diberi angka 0 (nol).
3.Model Penelitian
Model empiris yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut:



Keterangan:
DACC = Discretionary accruals.
KPLKINST = Kepemilikan institusional.
KPLKMNJR= Kepemilikan manajerial.
KOMSINDP= Komisaris independen.
UKRNAUDT= Ukuran komite audit.
ROA= Return on assets.
λ0, µ0= Konstanta.
λ1, λ2, λ3, λ4, µ1, µ2, µ3, µ4= Koefisien regresi.



3.5 Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif untuk memperoleh nilai rata-rata, minimum, maksimum dan deviasi standar dari variabel-variabel yang diteliti. Pengujian hipotesis pertama, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan hipotesis kedua, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap  kinerja perusahaan menggunakan multiple regression analysis dengan SPSS 11.5.
Agar memenuhi sifat estimasi regresi yang bersifat BLUES (Best Linear Unbiased Estimator), uji asumsi klasik yaitu uji normality, autokorelasi,  multicollinearity dan heteroskedastisitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan uji regresi linier berganda.


BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Pengujian Hipotesis
Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan untuk pengujian hipotesis sebanyak 17 perusahaan manufaktur dari tahun 2006-2009 sehingga diperoleh 68 data observasi. Daftar perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel tersebut dilampirkan dalam Lampiran 1.
4.1.1  Hasil Uji Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan uraian tentang data sampel yang digunakan dalam penelitian. Dalam statistik deskriptif diuraikan mengenai nilai minimum, maksimum, rerata, dan deviasi standar dari variabel-variabel penelitian.
Berdasarkan Lampiran 2, statistik deskriptif untuk masing-masing variabel penelitian disajikan kembali dalam Tabel 1 sebagai berikut:


Tabel 1
Hasil Uji Statistik Deskriptif

Variabel
Nilai Minimum
Nilai Maksimum
Rerata
Deviasi Standar
Discretionery
Accruals
-5,2332
0,5927
-0,340824
0,9261680
Return on
Assets
-0,0718
0,1753
0,052297
0,0590671
Kepemilikan
Institusional
0,0000
0,9974
0,639035
0,2437299
Kepemilikan
Manajerial
0,0000
1,0000
0,573529
0,4982410
Komisaris
Independen
0,0000
0,5556
0,344794
0,1098100
Ukuran Audit
0,0000
1,0000
0,926471
0,2629441
Sumber: Hasil Olah data sekunder.

Berdasarkan Tabel 1, 68 (enam puluh delapan) sampel penelitian melakukan decreasing income dengan rerata discretionery accruals sebesar  0,340824 yang ditunjukkan dengan tanda negatif pada hasil mean-nya sedangkan deviasi standar sebesar 0,9261680, nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar -5,2332 dan 0,5927. Rerata ROA adalah sebesar 0,052297, simpangan baku 0,0590671, nilai minimum -0,0718 dan nilai maksimum 0,1753.
Variabel mekanisme corporate governance yang diproksikan dengan kepemilikan instituisional (KPLKINST) memiliki rerata 0,639035, deviasi standar  0,2437299, nilai minimum 0 dan nilai maksimum 0,9974. Hal ini menunjukkan 64% kepemilikan saham perusahaan sampel adalah perusahaan atau institusi.
Rerata kepemilikan manajerial (KPLKMNJR) adalah sebesar 0,573529 dengan simpangan baku 0,4982410, nilai minimum 0 dan nilai maksimum 1. Ini berarti  57% perusahaan sampel mempunyai kepemilikan saham oleh manajer dan komisaris.
Proksi mekanisme corporate governance berikutnya adalah jumlah komisaris independen (KOMSINDP) yang mempunyai nilai rerata sebesar 0,344794, deviasi standar 0,11022, nilai minimum 0 dan nilai maksimum 0,5556. Hal ini menunjukkan jumlah rerata komisaris independen adalah 34% dari jumlah seluruh keanggotaan komisaris. Angka ini sesuai dengan persyaratan Bapepam tentang tata kelola perusahaan yang baik sebesar 30%.
Proksi lain mekanisme corporate governance yang adalah jumlah keangotaan komite audit yang mempunyai rerata, simpangan baku, nilai minimum dan nilai maksimum masing-masing 0,926471, 0,2629441, 0 dan 1. Besaran ini menunjukkan bahwa 93% perusahaan sampel memiliki keanggotaan komite audit lebih dari 3 (tiga) orang. Hal ini sesuai dengan yang dipersyaratkan good corporate governance Indonesia yaitu sebanyak 3 orang.
4.1.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
Untuk memperoleh sifat estimasi yang bersifat BLUES (Best Linier Unbiased Estimator), sebelum melakukan uji analisis jalur dengan SPSS dilakukan uji asusmsi klasik. Uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas, uji autokorelasi, uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas yang disajikan dalam Lampiran 3 untuk hipotesis 1 dan Lampiran 4 untuk hipotesis 2.
4.1.2.1 Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik memiliki nilai residual yang  berdistribusi normal dengan nilai asymp. sig. > 0,05.
Pada Lampiran 3 hasil uji normalitas terhadap hipotesis 1 dapat diketahui  asymp. sig.-nya adalah sebesar 0,052 (asymp. sig. > 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai residual data telah terdistribusi normal. Hasil uji normalitas hipotesis 2 pada Lampiran 4 menunjukkan asymp. sig. sebesar 0,769 (asymp. sig. > 0,05). Dengan demikian, nilai residual hipotesis 2 juga telah  memenuhi uji normalitas. Normalitas terhadap 2 (dua) hipotesis ini juga  ditunjukkan dengan titik-titik yang menyebar pada gambar Scatterplot.
4.1.2.2 Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk menguji bias korelasi suatu periode pengamatan ke periode pengamatan sebelumnya. Dalam penelitian ini, uji ini dilakukan dengan Uji Durbin-Watson. Pada Lampiran 3 dan Lampiran 4, angka  Durbin Watson menunjukkan bahwa hipotesis 1 dan hipotesis 2 terhindar dari bias autokorelasi.
4.1.2.3 Hasil Uji Heteroskesdastisitas
Uji heteroskesdastisitas digunakan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Untuk mendeteksi hal ini, digunakan uji Glejser. Hasil dari uji tersebut terlihat  pada Tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2
Hasil uji Heteroskesdastisitas

Hipotesis
F value
Sig. F ( > 0,05)
Keterangan
Hipotesis 1
0,769
0,549
Bebas Heteroskesdastisitas
Hipotesis 2
0,866
0,489
Bebas Heteroskesdastisitas
Hipotesis
t  value
Sig. t ( > 0,05)
Keterangan
Hipotesis 1



KPLKINST
-1,421
0,160
Bebas Heteroskesdastisitas
KPLKMNJR
0,355
0,724
Bebas Heteroskesdastisitas
KOMSINDP
-0,185
0,854
Bebas Heteroskesdastisitas
UKRNAUDT
0,410
0,683
Bebas Heteroskesdastisitas
Hipotesis 2



KPLKINST
0,711
0,480
Bebas Heteroskesdastisitas
KPLKMNJR
-1,312
0,194
Bebas Heteroskesdastisitas
KOMSINDP
0,791
0,432
Bebas Heteroskesdastisitas
UKRNAUDT
0,054
0,957
Bebas Heteroskesdastisitas

Keterangan  :
KPLKINST   = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.


4.1.2.4 Hasil Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan untuk melihat korelasi yang tinggi antara variabel-varibel bebas dalam suatu model regresi linier berganda. Alat statistik yang digunakan untuk menguji multikolinieritas dalam penelitian ini adalah variance inflation factor (VIF). Hasil dari uji ini terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut:


Tabel 3
Hasil Uji Multikolinieritas

Variabel
Collinearity Statistics
Keterangan
Tolerance
VIF (  < 10 )
KPLKINST
0,908
1,102
Bebas Multikolinieritas
KPLKMNJR
0,868
1,153
Bebas Multikolinieritas
KOMSINDP
0,944
1,059
Bebas Multikolinieritas
UKRNAUDT
0,840
1,191
Bebas Multikolinieritas

Keterangan  :
KPLKINST   = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.


4.1.3  Hasil Uji Ketepatan Model dan Koefisien Determinasi
Uji ketepatan model diukur dari uji F dan koefisien determinasi diperolehdari R2, keduanya disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut:


Tabel 4
Hasil Uji Ketepatan Model dan Koefisien Determinasi

Hipotesis
F value
Sig. F (< 0,05)
Keterangan
Hipotesis 1
4.812
.002(a)
Model Fit
Hipotesis 2
2.917
.028(a)
Model Fit




Hipotesis
Koefsien Determinasi
(R2)
Keterangan
Hipotesis 1
0,234
23,40% variabel discretionery accruals disebabkan oleh variabel mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan komite audit, 76,60% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini.
Hipotesis 2
0,156
15,60% variabel return on assets disebabkan oleh variabel mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan komite audit, 84,40% sisanya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak terdapat dalam penelitian ini.

4.1.4  Hasil Pengujian Hipotesis
4.1.4.1 Hasil Pengujian Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba
Hipotesis 1 dalam penelitian ini adalah menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba. Berdasarkan hasil uji statistik pada Lampiran 3, hasil uji hipotesis 1 disajikan pada Tabel 5 sebagai berikut:


Tabel 5
Hasil Uji Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba
Mekanisme Corporate Governance
Koefisien Regresi
Nilai t
Nilai p
( < 0,05)
Hipotesis
Pengaruh
KPLKINST
0,071
0,609
0,544
Ditolak
-
KPLKMNJR
-0,362
-3,061


0,003
Diterima
Signifikans Negatif
KOMSINDP
-0,380
-3,348


0,001
Diterima
Signifikans Negatif
UKRNAUDT
0,103
0,856
0,395
Ditolak
-
Standar error = 0,83466
Keterangan  :
KPLKINST   = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.

Berdasarkan Tabel 5, koefisien regresi dan nilai t pada masing-masing mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba yang diproksikan dengan discretionery accruals dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Koefisien regresi mekanisme kepemilikan institusional adalah sebesar 0,071 dengan nilai t sebesar 0,609 (p = 0,544). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh kepemilikan institusional terhadap discretionery accruals adalah tidak signifikans secara statistik pada level signifikansi 0,05%.
2.         Koefisien regresi mekanisme kepemilikan manajerial adalah sebesar - 0,362 dengan nilai t sebesar -3,061 (p = 0,003). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel kepemilikan manajerial terhadap discretionery accruals adalah signifikans secara statistik pada level 0,05%.
3.         Koefisien regresi mekanisme komisaris independen adalah sebesar 0,103 dengan nilai t sebesar -3,348 (p = 0,003). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel komisaris independen terhadap discretionary accruals adalah signifikans secara statistik pada level 0,05%.
4.         Koefisien regresi mekanisme ukuran komite audit adalah sebesar 0,103 dengan nilai t sebesar 0,856 (p = 0,395). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh ukuran komite audit terhadap discretionery accruals adalah tidak signifikans secara statistik pada level signifikansi 0,05%.



4.1.4.2 Hasil Pengujian Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan
Hipotesis 2 dalam penelitian ini adalah menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan hasil uji statistik pada Lampiran 4, hasil uji hipotesis 2 disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Uji Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan
Mekanisme Corporate Governance
Koefisien Regresi
Nilai t
Nilai p
( < 0,05)
Hipotesis
Pengaruh
KPLKINST
0,133
  1,094
0,278
Ditolak
-
KPLKMNJR
0,028 
0,228


0,820
Ditolak
-
KOMSINDP
0,103
0,863


0,392
Ditolak
-
UKRNAUDT
-0,344
-2,728
0,008
Diterima
Signifikans Negatif
Standar error = 0,83466

Keterangan  :
KPLKINST   = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.
Berdasarkan Tabel 6, koefisien regresi dan nilai t pada masing-masing mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan yang diproksikan dengan return on assets dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Koefisien regresi mekanisme kepemilikan institusional adalah sebesar 0,133 dengan nilai t sebesar 1,094 (p = 0,278). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh kepemilikan institusional terhadap return on assets adalah tidak signifikans secara statistik pada level signifikansi 0,05%.
2.         Koefisien regresi mekanisme kepemilikan manajerial adalah sebesar 0,028 dengan nilai t sebesar 0,228 (p = 0,820). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel kepemilikan manajerial terhadap return on assets adalah tidak signifikans secara statistik pada level 0,05%.
3.         Koefisien regresi mekanisme komisaris independen adalah sebesar 0,103 dengan nilai t sebesar 0,863 (p = 0,392). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh variabel komisaris independen terhadap return on assets adalah tidak signifikans secara statistik pada level 0,05%.
4.         Koefisien regresi mekanisme ukuran komite audit adalah sebesar -0,344 dengan nilai t sebesar -2,728 (p = 0,008). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh ukuran komite audit terhadap return on assets adalah signifikans secara statistik pada level signifikansi 0,05%.
4.2  Pembahasan Hasil Penelitian
4.2.1   Pembahasan Hasil Penelitian Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba
Analisis hasil uji statistik hipotesis 1, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional terhadap praktik manajemen laba.
Berdasarkan hasil analisis stastistik, penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikans antara kepemilikan institusional terhadap praktik manajemen laba. Temuan ini konsisten dengan hasil penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menunjukkan bahwa kepemilikan institusional bukan merupakan salah satu mekanisme corporate governance yang dapat mempengaruhi praktik manajemen laba. Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Cornett et al. (2006), Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), Midiastuty dan Machfoedz (2003) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional merupakan faktor yang berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Kepemilikan institusional tidak mampu memberikan pengaruh terhadap manajemen laba meskipun 63,90% kepemilikan perusahaan sampel dikuasai oleh institusional yang memiliki saham di atas 5%. Hal ini disebabkan oleh perusahaan sampel, sebagaimana perusahaan di Indonesia, merupakan tipikal perusahaan yang dikontrol oleh keluarga atau individu tertentu yang kurang dapat memisahkan antara kepemilikan dan manajemen, sehingga manajer lebih bertindak untuk kepentingan pihak-pihak tertentu tersebut daripada investor institusional
2.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial terhadap praktik manajemen laba.
Kepemilikan manajerial berpengaruh secara signifikans terhadap praktik manajemen laba dengan pola hubungan yang negatif. Ini berarti semakin tinggi prosentase kepemilikan manajerial, semakin rendah besaran discretionery accruals yang dilakukan manajer, dan sebaliknya.
Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan Midiastuty dan Mahfoedz (2003), yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan factor yang berpengaruh terhadap negatif terhadap discretionery accruals dan sekaligus membuktikan bahwa kepemilikan manajerial dapat membatasi praktik manajemen laba yang dilakukannya. Hal ini disebabkan oleh manajer tidak mempunyai motivasi untuk mengelola laba perusahaan yang juga merupakan miliknya sendiri.
3.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui komisaris independen terhadap praktik manajemen laba.
Pengaruh negatif yang signifikans ditunjukkan antara hubungan antara komisaris independen terhadap praktik manajemen laba. Hal ini menunjukkan semakin banyak jumlah komisaris independen, semakin rendah besaran manajemen laba yang dilakukan oleh manajer, dan sebaliknya. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006), Xie et al. (2003), Cornett et al. (2006) yang menyimpulkan dewan komisaris yang berasal dari luar perusahaan (outside directors) berpengaruh secara negatif terhadap tindakan manajemen laba. Hal ini membuktikan bahwa komisaris independen merupakan mekanisme pengawasan terhadap kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan yang dipercayakan stakeholders.
4.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui ukuran komite audit terhadap praktik manajemen laba.
Penelitian memberikan temuan tidak adanya pengaruh yang signifikans komite audit manajemen laba. Hasil ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Chtourou et al. (2001) dan Xie et al. (2003) yang menyatakan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh terhadap manajemen laba.
Dalam penelitian ini, 93% dari perusahaan sampel memiliki ukuran komite audit yang telah memenuhi persyaratan sebagai tata kelola yang baik, namun secara empiris tidak dapat membatasi pengelolaan laba. Hal ini disebabkan oleh komite audit tidak menunjukkan eksistensinya dalam menjalankan fungsi pengawasan dan hanya melakukan tugas-tugas rutin seperti review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab oleh manajemen (Sommers, 2001). Komite audit dibentuk hanya sebagai formalitas saja dalam memenuhi regulasi penerapan corporate governace.

4.2.2   Pembahasan Hasil Penelitian Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan.
Penjelasan hasil pengujian hipotesis 2, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan adalah sebagai berikut:
1.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini memberikan temuan bahwa kepemilikan institusional tidak memberikan pengaruh yang signifikans terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan temuan ini, dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan tidak ditentukan oleh kepemilikan oleh institusi yang dianggap sebagai investor yang canggih dalam memanfaatkan informasi keuangan dibandingkan dengan investor noninstitusional.
Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Cornett et al. (2006) dan Rajgopal et al. (1999) yang membuktikan kepemilikan institusional merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
2.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikans antara kepemilikan manajerial terhadap kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini berbeda dengan Bhagat dan Bolton (2007) yang menemukan pengaruh yang positif antara kepemilikan manajerial dengan kinerja operasional. Tetapi, sesuai dengan hasil temuan Beiner et al. (2003) tidak menghasilkan pengaruh yang signifikans antara kepemilikan manajerial dan komisaris independen terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa manajer yang juga sebagai shareholders relatif tidak melakukan intervensi dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan nilai perusahaan yang juga merupakan miliknya sendiri.
3.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui komisaris independen terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikans antara  komisaris independen dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini berbeda dengan temuan Larcker et al. (2007), Siallagan dan Machfoedz (2006), Larcker et al. (2005), namun mendukung hasil penelitian Beiner et. al. (2003) menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikans antara komisaris independen terhadap nilai perusahaan.
Berdasarkan temuan atas hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa komisaris dari luar perusahaan relatif kurang efektif dalam melakukan monitoring jalannya perusahaan. Meskipun jumlah komisaris independen perusahaan sampel adalah 34,48% dari 30% sebagaimana yang dipersyaratkan Bapepam, komisaris independen seharusnya dapat  mengawasi dan memberikan saran bagi manajemen untuk meningkatkan  kinerja perusahaan. Hal ini disinyalir disebabkan oleh kurangnya  kompetensi dan independensi yang dibutuhkan dari komisaris independen
Penyebab lainnya adalah ketentuan minimum tentang komisaris  independen sebesar 30% dirasa belum cukup tinggi untuk dapat mendominasi kebijkan yang diambil dalam dewan komisaris. Jika  komisaris independen  merupakan pihak mayoritas (> 50%) maka komisaris independen mungkin dapat lebih efektif dalam menjalankan  monitoring dalam perusahaan.
4.         Pengaruh mekanisme corporate governance melalui ukuran komite audit  terhadap kinerja perusahaan.
Ukuran komite audit berpengaruh secara negatif signifikans terhadap kinerja perusahaan. Hal berarti semakin besar ukuran komite audit semakin rendah kinerja perusahaan, dan sebaliknya. Hasil ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006) yang menyimpulkan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
Meskipun hampir seluruh perusahaan sampel telah memenuhi ukuran komite audit yang ditentukan oleh Bapepam tentang tata kelola perusahaan yang baik yaitu ukuran komite audit minimal 3 (tiga orang), komite audit kurang efektif berperan dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan komunikasi antaranggota komite audit dalam melakukan monitoring dan memberikan pendapat profesional dan independen dalam perusahaan.


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1  Kesimpulan
Penelitian ini menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen, jumlah komisaris independen dan ukuran komite audit terhadap praktik manajemen laba. Selain itu, penelitian ini juga menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate governance melalui empat proksi yang sama tersebut terhadap kinerja perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan mekanisme corporate governance yang berpengaruh terhadap praktik manajemen laba adalah kepemilikan manajerial dan komisaris independen. Kepemilikan manajerial yang berpengaruh secara negatif terhadap praktik manajemen laba menunjukkan bahwa manajer yang juga merupakan shareholders melakukan intervensi dalam pengelolaan laba perusahaan yang juga miliknya sendiri. Hasil temuan ini konsiten dengan hasil  penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan  Midiastuty dan Mahfoedz (2003). Pengaruh negatif komisaris independen terhadap praktik manajemen laba membuktikan efektifnya pengawasan komisaris dari luar perusahaan dalam membatasi manajemen laba. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006), Xie et al. (2003), Cornett et al. (2006). Di lain pihak, kepemilikan institusional tidak  berpengaruh secara signifikans terhadap pengelolaan laba. Temuan ini bertentangan dengan hasil penelitian Cornett et al. (2006), Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), Midiastuty dan Machfoedz (2003), namun mendukung penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007). Mekanisme corporate governance melalui ukuran audit juga tidak berpengaruh secara signifikans terhadap praktik manajemen laba dalam penelitian ini, sehingga tidak sesuai dengan hasil penelitian Chtourou et al. (2001) dan Xie et al. (2003) yang menyatakan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
Hasil penelitian yang kedua memberikan temuan bahwa mekanisme corporate governance ukuran komite audit berpengaruh secara negatif terhadap kinerja perusahaan. Hal ini berarti semakin besar ukuran komite audit semakin rendah kinerja perusahaan, dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan kurangnya komunikasi dan koordinasi komite audit dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Temuan ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006) yang menyimpulkan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Di lain pihak, mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara signifikans terhadap kinerja perusahaan. Hal ini tidak sesuai dengan temuan Cornett et al. (2006) dan Rajgopal et al. (1999). Demikian pula, dengan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan, sehingga berbeda dengan Bhagat dan Bolton (2007) namun sesuai dengan hasil temuan Beiner et al. (2003). Dalam penelitian ini juga tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikans komisaris independen terhadap kinerja perusahaan. Hasil ini bertentang dengan temuan Larcker et al. (2007), Siallagan dan  Machfoedz (2006), Larcker et al. (2005), namun mendukung hasil penelitian Beiner et al. (2003)
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat diperoleh benang merah bahwa penerapan corporate governance di Indonesa relatif hanya sebatas mengikuti tren yang berkembang saat ini dan hanya untuk menunjukkan kepatuhan atas ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini didukung oleh kondisi lemahnya kepastian dan penegakan hukum, budaya dan lingkungan bisnis yang family-owned. Perusahaan-perusahaan publik seharusnya menyadari bahwa tata kelola perusahaan yang baik merupakan suatu kebutuhan agar dapat mencapai kinerja yang berkualitas dan berkesinambungan.
5.2  Saran
Beberapa keterbatasan dan kelemahan atas hasil penelitian ini yang perlu dijadikan bahan revisi bagi penelitian selanjutnya adalah sebagai berikut:
1.    Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini relatif kecil dan  periode penelitian relatif pendek sehingga dipertimbangkan untuk memperbesar jumlah sampel dan memperpanjang periode pengamatan
2.    Tidak  mempertimbangkan kejadian-kejadian lain yang memiliki konsekuensi ekonomi terutama makro ekonomi dan faktor-faktor di luar ekonomi.
3.    Tidak mempertimbangkan kejadian-kejadian penting internal perusahaan seperti company restructuring, merger, perubahan kelompok industry untuk melihat praktik manajemen laba dengan lebih jelas.
4.    Hanya menggunakan 1 (satu) proksi kinerja perusahaan sehingga untuk  penelitian berikutnya perlu menggunakan Tobin’s Q dan proksi kinerja lainnya.
5.    Perlu menambah indikator lain sebagai proksi corporate governance seperti kepatuhan pengungkapan wajib atas informasi keuangan dan ketepatwaktuan penyampaian informasi keuangan, ukuran dewan direksi.















DAFTAR PUSTAKA


Ayres, Frances L. 1994. Perceptions of Earnings Quality: What Managers Need to Know. Management Accounting, Vol. 75, No. 9, Maret 1994, 27.
Bauer, Rob, Nadja Günster, dan Roger Otten. 2003. Empirical Evidence on Corporate Governance in Europe. Social Science Research Network (SSRN),Oktober 2003.
Baird, M. 2000. The Proper of Governance of Companies will Become as Crucial to the World Economy as the Proper Governing of Countries. Paper.
Beiner, Stefan, Wolfgang Drobetz, Frank Schmid, Heinz Zimmermann. 2003. I Board Size an Independent Corporate Governance Mechanism?. Social Science Research Network (SSRN), Agustus 2003.
Bhagat, Sanjai dan Brian Bolton. 2007. Corporate Governance and Firm Performance. Social Science Research Network (SSRN), Juni 2007.
Black, Bernard. 2001. Does Corporate Governance Matter? A Crude Test Using Russian Data. Social Science Research Network (SSRN), Januari 2001. http://ssrn.com/abstract=252706.
Bowen, Robert M., Shivaram Rajgopal dan Mohan Venkatachalam. Accounting Discretion, Corporate Governance and Firm Performance. Social Science Research Network (SSRN), September 2003.
Bushee, Brian. 1998. Institutional Investors, Long-term Investment, and Earning Management. Social Science Research Network (SSRN), Social Science Research Network (SSRN), Januari 1998.
Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean Bedard dan Lucie Courteau. 2001. Corporate Governance and Earnings Management. Social Science Research Network (SSRN), April 2001. http://papers.ssrn.com/abstract=275053.
Cornett, Marcia Millon, Alan J. Marcus, Anthony Saunders dan Hassan Tehranian. 2006. Earnings Management, Corporate Governance, and True Financial Performance. Social Science Research Network (SSRN), Juli 2006. http://ssrn.com/abstract=886142.
Dechow, Patricia M, Richard G. Sloan dan Amy P. Sweney. 1995. Detecting Earnings Management. Accounting Review, Vol. 70, No. 2, April 1995, 193-225.
-------------, Causes and Consequences of Earnings Manipulations: An Analysis of Firms Subject to Enforcement Actions by the SEC. Contemporary Accounting Research. ABI/INFORM Global. Musim Semi 1996, 1-36.
Durnev, Art dan E. Han Kim. 2005. To Steal or Not to Steal: Firm Attributes, Legal Environment, and Valuation. Journal of Finance, Vol. 60, No. 3, Juni 2005, 1461-1493.
Fama, Eugene F. dan Michael C. Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control. Journal of Law and Economics, Vol. 26, Juni 1983, 1-32.
Gompers, Paul A., Joy L. Ishii, dan Andrew Metrick. 2003. Corporate Governance And Equity Prices. Social Science Research Network (SSRN), Pebruari 2003.
Gumanti, Tatang Ary. 2000. Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 2, No. 2, Nopember 2000, 104-115.
Healy, Paul M. dan James M. Wahlen. 1999. A Review of the Earning Management Literature and Its Implications for Standard Setting. Accounting Horizons, Vol. 13, No. 4, Desember 1999, 365-383.
Indonesian Capital Market Directory. 2006-2009.


Jamilah, Siti, Wiwik Herawati, Kristiningsih, Matheous Tamonsang, Lestari dan Joyo Diharjo. 2008. Modul: Aplikasi Komputer Statistik dan Manajemen. Materi:SPSS, QM, dan FC. Laboratorium Komputer Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Jeanjean, Thomas. 2000. Corporate Governance and Earnings Management. First Draft. Maret 2000.
Jensen, Michael C. dan William H. Meckling. 1976. Theory of the Firm:Managerial Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, No. 4, Oktober 1976, 305-360.
Jogiyanto, H.M. 2004. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Edisi 2004/2005. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Kalbers, Lawrence P. dan Timothy J. Fogarty. 1993. Audit Committee Effectiveness: An Empirical Investigation of the Contribution of Power”. Auditing: A Journal of Practice & Theory 12, Vol. 1, Musim Semi 1993.
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor KEP-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004. Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Klein, April. 2006. Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings Management. Social Science Research Network (SSRN). Oktober 2006. http://papers.ssrn.com/paper.taf?abstract_id=246674.
Kusuma, Hadri. 2006. Dampak Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Akuntansi: Bukti Empiris dari Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 8, No. 1, Mei 2006, 1-12.
Larcker, David F., Scott A. Richardson, Irema Tuna. 2005. How Important is Corporate Governance?. Social Science Research Network (SSRN). Mei 2005.

Midiastuty, Pratana Puspa dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba. Simposium Nasional Akuntansi VI Surabaya, Oktober 2003, 176-199.
Morck, Randall, Andrei Shleifer, and Robert W. Vishny. 1988. Management ownership and market valuation: An empirical analysis. Journal of Financial Economics 20: 293-315.
Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. 2006. Komite Nasional Kebijakan Governance.
Peraturan Bapepam Nomor IX.I.5 tanggal 24 September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Pradhono, dan Yulius Jogi Christiawan. 2004. Pengaruh Economic Value Added, Residual Income, Earnings dan Arus Kas Operasi terhadap Return yang Diterima oleh Pemegang Saham (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, No. 2, Nopember 2004, 140-166.
Rajgopal, Shivaram, Mohan Venkatachalam, James Jiambalvo. 1999. “The Role Institutional Investors in Corporate Governance: An Empirical Investigation”. Social Science Research Network (SSRN). Maret 1999.
Richardson, Vernon J. 2000. Information Asymmetry and Earnings Management: Some Evidence. Review of Quantitative Finance and Accounting, Vol. 15, No. 4, Desember 2000, 325-347.
Scott, William R. 2009. Financial Accounting Theory. Fifth Edition. New Jersey: Prentice Hall Business Publishing
Shleifer, Andrei dan Robert W. Vishny. 1997. A Survey of Corporat Governance. Journal of Finance, Vol. 52, No. 2, Juni 1997, 737-783.
Siallagan, Hamonangan dan Mas’ud Machfoedz. 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi IX Padang, Agustus 2006, K-AKPM 13, 1-22.
Siregar, Sylvia Veronica N.P dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo, September 2005, 475-490.
Sommers Jr., A.A. 1992. Auditing Audit Committees: An Education Opportunity for Auditors. Journal of Accountancy, Vol. 173, No. 66, 112-113.
Sujarweni, V. Wiratna. 2007. Belajar Mudah SPSS untuk Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Umum. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Global Media Informasi.
Sulistyanto, H. Sri. 2008. Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT. Grasindo.
Teshima, Nobuyuki dan Akinobu Shuto. 2005. Managerial Ownership and Earnings Management: Theory and Evidence. Social Science Research Network (SSRN). Mei 2005.
Ujiyantho, M.uh Arief dan Bambang Agus Pramuka. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan Go Public Sektor Manukatur). Simposium Nasional Akuntansi X Makasar, Juli 2007, AKPM-01, 1-26.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Whelan, Catherine dan Ray McNamara. 2004. The Impact of Earnings Management on the Value-relevance of Financial Statement Information. Social Science Research Network (SSRN), Juli 2004. http://ssrn.com/abstract=585704.
Xie, Biao, Wallace N. Davidson III dan Peter J. DaDalt. 2003. Earnings Management and Corporate Governance: The Roles of the Board and the Audit Committee. Science Research Network (SSRN), juli 2003. http://ssrn.com/abstract=304195.


Lampiran 1 : Sampel Perusahaan.
Automotive and Allied Products
1
Astra International Tbk, PT.
2
Hexindo Adiperkasa Tbk., PT.
3
Sugi Samapersada Tbk, PT.
4
Tunas Ridean Tbk, PT.
5
United Tractors Tbk, PT.
Chemical and Allied Products
6
AKR Corporindo Tbk, PT.
7
Lautan Luas Tbk, PT.
Electronic and Office Equipment
8
Astra Graphia Tbk, PT.
9
Metrodata Electronics Tbk, PT.
10
Multipolar Corporation Tbk, PT.
Food and Beverages
11
Fast Food Indonesia Tbk, PT.
Metal and Allied Products
12
Tira Austenite Tbk, PT.
Pharmaceuticals
13
Kalbe Farma Tbk, PT.
Photographic Equipment
14
Inter Delta Tbk, PT.
15
Modern Internasional Tbk, PT. (formerly Modern Photo Film Company)
16
Perdana Bangun Pusaka Tbk, PT.
Tobacco Manufacturers
17
Bentoel International Investama Tbk, PT.



Lampiran 2 Hasil Uji Statistik Deskriptif