BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih dililit
kemiskinan. Berbagai fenomena kerusakan
lingkungan pesisir dan lautan bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi,
tetapi juga seringkali diakibatkan oleh kemiskinan penduduk. Penduduk yang miskin akan menyeret kepada
keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
racun atau pestisida dengan tidak melihat keberlanjutan (sustainibility) sumberdaya alam yang ada.
Secara umum, permasalahan yang dialami para nelayan Indonesia
yang bergantung hidup dari perikanan tangkap terdiri dari dua bagian besar,
yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Permasalahan internal
berasal dari ruang lingkup perikanan tangkap sendiri, khususnya dari stakeholder yang terlibat. Sedangkan
permasalahan eksternal berasal dari kebijakan pemerintah, atau sektor di luar
perikanan tangkap yang terkait.
Permasalahan
internal yang dihadapi diadapi para nelayan Indonesia umumnya adalah:
- Terjadi ketidakseimbangan dalam pemanfaatan SDI laut di Wilayah
Pengelolaan Perikanan. Sebagian WPP, misalnya Selat Malaka) dan Laut Jawa telah
mengalami overfishing, sementara
WPP lain sudah mengalami padat tangkap dan
ada pula yang masih underfishing.
- Lemahnya usaha perikanan tangkap skala kecil akibat minimnya kemampuan
untuk meningkatkan produktifitas. Kemampuan yang rendah disebabkan
penguasaan teknologi pengolahan yang rendah, keterbatasan akses
permodalan, minimnya kemampuan manajemen, dan masih bersifat padat karya.
Orientasi pengelolaan yang bersifat sistem kemitraan, seperti pola Grameen Bank perlu diadopsi.
- Sebaran pelabuhan perikanan masih belum merata. Pelabuhan yang
terletak di WPP yang dekat dengan samudera masih berstatus pelabuhan
perikanan pantai atau pelabuhan perikanan nusantara. Demikian juga dengan
fasilitas pelabuhan perikanan di WPP yang masih underfishing belum ditingkatkan statusnya.
- Struktur armada perikanan nasional masih didominasi kapal skala kecil
(tanpa motor). Jumlah kapal motor memang mengalami peningkatan
terus-menerus, namun tidak sebanding dengan potensi lestari sumberdaya
ikan. Hal yang juga harus diperhatikan adalah peningkatan kemampuan
nelayan dan penggunaan alat tangkap yang efisien dan efektif.
- Skema perizinan yang masih birokratis dan implementasinya menuju skema
pelayanan satu atap masih jauh dari harapan. Penyederhanaan izin bagi
kapal perikanan Indonesia perlu dilakukan. Kapal perikanan Indonesia juga
harus dikaji benar-benar mengingat keberpihakan terhadap nelayan lokal
harus kuat.
- Masih terjadi konflik antar nelayan, baik itu konflik yang merupakan
kelanjutan dari konflik tahun sebelumnya maupun konflik baru. Khususnya
antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Upaya mengatasi konflik
harus dilakukan secara sinergitas dan menggunakan skenario tertentu.
- Penetapan pungutan di bidang perikanan adalah produktivitas suatu
kapal ikan tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya ukuran GT kapal,
namun jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal
ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Hal ini tergantung pada jenis
alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka
dari kapal ikan itu sendiri.
- Perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal
yang sesungguhnya. Permasalahan ukuran GT juga akan timbul pada kasus
penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang
berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik
atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk
mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT
kapal.
Sedangkan permasalahan
eksternal yang umumnya mereka hadapi adalah:
1. Kenaikan harga BBM terhadap usaha
perikanan tangkap menyebabkan beban biaya operasional penangkapan bagi nelayan
kecil bertambah. Hal yang sama terjadi pada usaha perikanan tangkap skala
besar. Rasio biaya BBM dan biaya operasional kapal mengalami peningkatan yang
signifikan yaitu 67 persen. Kenaikan harga BBM merupakan ihwal yang sulit untuk
dicegah mengingat harga minyak di pasaran dunia terus mengalami peningkatan.
Sehingga harus dicari alternatif pemecahannya dalam jangka panjang.
Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar
Minyak Dalam Negeri yang mulai berlaku sejak 11 April 2006 merupakan langkah
jangka pendek dan tidak mungkin diandalkan untuk mewujudkan visi 2020.
2. Merebaknya IUU Fishing yang telah banyak merugikan negara menyebabkan
pemikiran untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
harus dimulai. Kapal asing yang melakukan IUU Fishing harus ditenggelamkan agar tidak mungkin lagi mencuri ikan
di perairan Indonesia.
Berbagai
permasalahan diatas menyebabkan timbulnya kemiskinan Kemiskinan masyarakat
pesisir, khususnya nelayan, yang terutama ditimbulkan oleh enam penyebab utama:
a.
Hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort), yang dicerminkan
dalam bentuk hasil tangkap per hari per perahu/nelayan, relatif kecil dan
daerah-daerah yang telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), seperti Pantai Utara dan selatan Jawa dan Selatan
Sulawesi, cenderung menurun. Hasil
tangkapan juga bersifat fluktuatif, terkadang dapat hasil tangkapan baik,
tetapi seringkali hanya dapat hasil sedikit, bergantung ada, musim. Bergantung pada lokasi, dalam satu tahun
musim tangkapan yang baik berkisar antara empat sampai delapan bulan saja. Selain karena kondisi biofisik laut dan
sumberdaya ikan yang bersifat musiman tersebut, hasil tangkap yang rendah juga
disebabkan karena teknologi penangkapan (parahu/kapal penangkapan atau alat
tangkap) ikan yang digunakan oleh sebahagian besar nelayan Indonesia masih
bersifat tradisional. Sampai saat ini
sekitar 85% dari nelayan Indonesia
(yang berjumlah 2,8 juta) adalah nelayan tradisional.
b.
Dalam rantai tata niaga nelayan memiliki posisi
tawar (bargaining posistion) yang
sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan (produk) maupun pada saat membeli
input produksi (seperti bahan bakar, jaring, es, dan bahan serta peralatan
lainnya). Hal ini disebabkan karena
nelayan menjual hasil tangkapnya tidak langsung kepada konsumen (pasar) akhir,
tetapi melalui beberapa pedagang perantara (midleman). Keuntungan terbesar (profit margin) bukan dinikmati oleh nelayan, tetapi sebagian besar
jatuh ke tangan para pedagang perantara (tengkulak). Misalnya, harga ikan kembung di tempat
pendaratan ikan di tempat pendaratan ikan di desa Gebang Mekar, Kecamatan
Babakan, Kabupaten Cirebon saat ini adalah Rp 2.000/kg, padahal harga jenis
ikan yang sama di Kota Cirebon sekitar Rp 5.000/kg, dan di Bogor Rp
8.0000/kg. Selain itu, harga jual ikan
para nelayan juga sering mengalami kondisi “market
glut”, suatu kondisi di mana pada saat hasil tangkapan nelayan baik
(melimpah) harga jual ikan turun secara drastis, sebaliknya ketika hasil
tangkapan berkurang (paceklik) harga jual ikan menjadi mahal. Sebaliknya, ketika para nelayan membeli input
produksi, mereka harus membayar kepada pedagang perantara di desanya dengan
harga yang jauh lebih mahal dari pada harga barang tersebut di tingkat produsen
(pabrik). Dengan perkataan lain, nelayan
dalam konteks tata niaga terjebak dalam kemiskinan struktural (structural poverty).
c.
Penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen
(penanganan/handling dan pengolahan/processing) untuk hasil perikanan di Indonesia masih
sangat lemah. Padahal teknologi pasca
panen memegang peran yang sangat penting dalam memelihara kesegaran produk
perikanan, karena jenis produk ini sangat mudah busuk (highly perishable), dan dalam meningkatkan harga jual (nilai
tambah) produk. Harga ikan segar jauh
lebih mahal ketimbang harga ikan yang sudah busuk, bahkan ikan busuk biasanya
tidak ada harganya karena tidak sehat dikonsumsi oleh manusia. Contoh lain adalah dalam hal ekspor rumput
laut. Hampir semua ekspor rumput laut
Indonesia berupa rumput laut kering, tanpa diolah lebih dulu menjadi produk
semi-jadi atau produk jadi, seperti agar-agar, alginat, dan kareginan; sehingga
nilai tambah produk ini bukan Indonesia yang menikmati, tetapi negara pengimpor
yang banyak memperoleh nilai tambah nya melalui produk makanan sehat,
kosmetika, dan obat-obatan.
d.
Akses nelayan terhadap informasi, teknologi,
pasar, permodalan (kapital), dan manajamen usaha sejauh ini masih sangat
rendah. Oleh karena itu wajar, jika
menurut data BPS (1998) bahwa sebagian masyarakat peisir (nelayan) Indonesia tergolong kelompok masyarakat
termiskin dalam struktur sosial masyarakat Indonesia .
e.
Budaya dan pola pikir (mindset) sebagian besar masyarakat pesisir belum responsif dan
kondusif tehadap kemajuan dan pembangunan.
Misalnya, mereka sebagian besar belum mampu mengelola ekonomi keluarga
(pendapatan-pengeluaran) secara efisien dan optimal, mereka cenderung boros dan
enggan menabung.
f.
Kondisi prasarana dan sarana (fasilitas sosial
dan fasilitas umum), berupa pendidikan, air bersih, tempat ibadah, jalan,
listrik, komunikasi, dan lainnya; serta sanitasi lingkungan hampir semua perkampungan
pesisir (nelayan) di Indonesia
tergolong buruk dan kumuh. Wajar bila
kondisi kesehatan para nelayan juga relatif kurang baik.
Oleh
karena itu, pembangunan dan pengembangan sektor kelautan Indonesia
memiliki tiga ciri strategis yaitu,
a. Harus
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbengan terhadap PDB,
penyerapan tenaga kerja dan beberapa indikator dasar perekonomian lainnya.
b. Harus
mampu memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu
meningkatkan kesejahteraan nelayan serta petani ikan tradisional yang masih
terbelakang. Dengan kata lain bidang kelautan dan perikanan harus dapat
memberikan pemerataan (equality) kesejahteraan bagi semua pelaku usaha secara
proposional.
c. Pembangunan
kelautan dan perikanan harus mampu
memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan dapat
berlangsung secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut diatas maka perlu
dipertimbangkan bahwa wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang sangat
besar dimana terbuka peluang yang besar pula untuk memanfaatkannya, akan tetapi
kendala terbesar bagi pemanfaatan potensi dan peluang tersebut terletak pada
kemampuan domestik, serta tatanan kelembagaan yang tersedia. Oleh kerana itu
peluang tersebut harus dimanfaatakan seoptimal mungkin oleh para pelaku usaha
demi kepentingan pembangunan masyarakat seluas-luasnya. Perlu disadari pula
bahwa peran pemerintah dalam hal ini bahwa peran pemerintah dalam pemanfaatan
sumberdaya tersebut hanya terbatas sebagai fasilitator, dinamisator dan
regulator. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan dukungan dan kesempatan
seluas-luasnya pada setiap kelompok masyarakat.
Dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam, prospek
perkembangan usaha, sarana dan prasarana serta kondisi sosial-ekonomi
masyarakat nelayan di Kawasan Sentra Produksi (KSP) Perikanan Laut Pantai
Selatan Jawa Timur, khususnya Kabupaten Malang serta dengan mempertimbangkan
visi pembangunan kelautan dan perikanan Nasional, maka dipandang perlu untuk
melakukan studi terapan (action research).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai
berikut:
a.
Bagaimana
potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di KSP Perikanan
Laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b. Bagaimana
konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang propinsi
Jawa Timur dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan
wilayah.
c. Apa
kebutuhan sarana pokok dan pendukung yang dapat merealisasikan program
pengembangan yang dibuat di KSP Perikanan di Kabupaten Malang .
d. Bagaimana
rancangan model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang
yang dapat menjamin keberlanjutan usaha.
e. Bagaimana
bentuk atau model pendekatan yang sesuai untuk memberdayakan komunitas
masyarakat nelayan.
f. Program
diversifikasi apa yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di
setiap KSP Perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.
1.3. Tujuan dan manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
a. Mengidentifikasi lokasi potensi dan
permasalahan di Kawasan Sentra Produksi Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten
Malang.
b. Mengklasifikasikan KSP Perikanan Laut
Pantai Selatan Kabupaten Malang berdasarkan potensi produksi, teknologi
pengolahan pasca panen, dan pemasaran.
c. Menyusun konsep pengembangan KSP Perikanan
Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang dalam upaya pemerataan pembangunan
perikanan dan pengembangan wilayah.
d. Menyusun
model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berwawasan
lingkungan.
e. Menyusun dan mengembangkan model
pemberdayaan masyarakat nelayan Kabupaten Malang dengan melibatkan seluruh
pelaku usaha perikanan laut.
f. Menyusun
strategi pengembangan agroindustri perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Diperoleh
suatu model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sehingga
dapat digunakan sebagai sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan
pembangunan wilayah.
b. Dapat
dirumuskan suatu kebijakan pengembangan di setiap KSP Perikanan Laut Pantai
Selatan Kabupaten Malang sesuai dengan karakteristik potensi sumberdaya,
perkembangan teknologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
c. Model
dapat diadopsi untuk program pengembangan di KSP Perikanan Laut di wilayah yang
lain.
BAB
II
Landasan
Teori dan Kerangka Pemikiran
2.1. Keragaan
Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah memasuki usia
5 (lima ) tahun
sejak dibentuknya menjelang akhir tahun 1999 pada masa pemerintahan Presiden
KH. Abudurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri
sejak bulan Juli 2001, peranan DKP menjadi semakin penting sebagai salah satu
komponen untuk mewujudkan program normalisasi kehidupan ekonomi, dan memperkuat
dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat, yang merupakan salah satu program
kerja Kabinet Gotong Royong pada periode tersebut.
Arah
kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dalam periode tahun 2000-2004
masih mengacu kepada Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999, Undang-Undang
No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004,
Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Kelautan dan Perikanan 2001-2004, serta
Program Kerja Kabinet Gotong Royong. Pelaksanaan pembangunan kelautan dan
perikanan didasarkan pada konsepsi pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh
pengembangan industri berbasis keunggulan sumber daya alam dan sumber daya
manusia dalam mencapai daya saing yang tinggi. Pencapaian hasil (kinerja)
Departemen Kelautan dan Perikanan terutama dalam periode 2000-2004, diukur dari
indikator proses (process indicators) dan indikator luaran (output indicators).
Indikator proses mencakup adanya konsistensi kebijakan dan program dengan
tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Indikator luaran merupakan hasil dari
implementasi kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan dalam
periode tahun 2000-2004 antara lain sebagai berikut :
1. Lingkungan
Ekosistem
pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat berpengaruh pada tingkat
produktivutas sumber daya kelautan dan perikanan meliputi: ekosistem terumbu
karang, ekosistem mangrove, padang
lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Secara umum kondisi
ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengalami degradasi fisiik
dengan laju degradasi yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya.
Saat ini, kondisi ekosistem terumbu karang dapat digambarkan sebagai berikut :
·
Luas terumbu karang di
perairan Indonesia
mencapai lebih dari 60.000 km2. Wilayah Indonesia merupakan lokasi bagi
sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan wilayah yang kaya dengan
keanekaragaman biota perairan.
·
Terdapat 300 jenis
karang sebagai habitat dari 200 jenis ikan, mollusca, crustacea, sponge, algae,
lamun dan biota lainnya.
·
Kondisi terumbu karang
saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40% (sumber : P3O-LIPI) dengan rincian :
rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia
Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di Indonesia Tengah tinggal 7,09%,
sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan tinggal 9,80%.
·
Penyebab kerusakan
terumbu karang antara lain adalah (i) kegiatan manusia : penangkapan dengan
alat yang merusak dan eksploitasi berlebih, pencemaran dan sedimentasi,
perencanaan kurang tepat, dampak pembangunan di darat dan (ii) faktor alam:
Elnino, La-Nina, topan, gempa dan banjir
·
Wilayah yang mengalami
degradasi oleh pencemaran tinggi antara lain adalah di Jawa Barat, Jawa Timur,
DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,
Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan
untuk ekosistem mangrove, kondisi saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
·
Mangrove merupakan
ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut karena memiliki
fungsi proteksi, ekologi, dan ekonomi.
Disamping itu, wilayah mangrove merupakan daerah asuhan (nursery
ground), pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding
ground), serta shelter berbagai jenis biota. Potensi lain adalah sebagai tempat
ekowisata.
·
Pada periode
1982-1993, terjadi penurunan luasan mangrove dari 5,21 juta menjadi 2,5 juta ha
dan terjadi hampir merata di seluruh wilayah pesisir.
·
Konversi lahan
mangrove menjadi lahan usaha tambak secara besar-besaran terjadi di provinsi
Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan
Timur (delta Mahakam). Demikian pula konversi lahan mangrove menjadi lahan
industri terjadi di DKI Jakarta , Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali .
·
Terjadinya konflik
penggunaan ruang dengan pertanian, permukiman, pertambangan, perhubungan laut
dan pariwisata menyebabkan sebagian wilayah mangrove tidak dapat dipertahankan.
Untuk
ekosistem padang
lamun (seagrass), yang merupakan sumber produktivitas primer pendukung
kehidupan biota laut, kondisi saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
·
Lamun merupakan
ekosistem penyangga pantai terhadap abrasi dan erosi, serta sebagai perangkap
sedimen dan penstabil dasar laut. Di Indonesia ditemukan 12 jenis dominan yang
termasuk ke dalam 7 marga & 2 suku, juga terdapat jenis lamun dalam skala
besar & menutupi dasar perairan yang luas membentuk suatu padang lamun (seagrass bed).
·
Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia
mencakup wilayah perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi ,
Maluku, Nusa Teng-gara dan Papua.
Gambar
2.2. Bagan Alir Proses Administrasi Perizinan Operasional Kapal
Perikanan (SPI/SIKPI)


|
Bagi
perusahaan yang akan mengajukan SPI, IUP atau berbagai perizinan di bidang
perikanan dikenakan beberapa pungutan antara lain Pungutan Pengusahaan
Perikanan (PPP), Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan Pungutan Perikanan Asing.
Jenis dan
ukuran kapal perikanan yang diizinkan beroperasi di perairan Indonesia adalah:
1) Kapal konstruksi baja atau fibre-glass,
dengan tipe: long-line berukuran
100-350 GT; purse seine berukuran
100-800 GT; Pukat Ikan berukuran 100-400 GT; pukat udang, bouke ami, squid jigging,
gill net berukuran 100-300 GT. 2)
kapal perikanan asing terbuat dari konstruksi kayu berukuran 60-150 GT. 3)
ukuran panjang alat penangkap ikan jenis jaring insang hanyut (drift gill-net) tidak lebih dari 2500
meter. 4) Pengoperasian pukat ikan (fish
net) dan pukat udang (shrimp net)
dilarang menggunakan 2 (dua) kapal. Selain itu, apabila kapal berbendera asing
beroperasi di perairan Indonesia wajib memperkerjakan ABK Indonesia
sekurang-kurangnya 20% dari jumlah seluruh ABK untuk masing-masing kapal. Proses
administrasi pengadaan sampai pengoperasian kapal perikanan dapat dilihat pada Gambar
2.3.
Gambar 2.3. Bagan Alir Proses Administrasi
Pengadaan sampai Pengoperasian Kapal Perikanan

Sumber: Website DKP (2007)
BAB
IV
Gambaran
umum obyek dan Hasil Penelitian.
4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Malang
Secara geografis Kabupaten Malang terletak antara
112o17’,10,90” sampai dengan 122o57’ ,00,00” Bujur Timur dan 7o44’,55,11”
sampai dengan 8o26’,35,45” Lintang Selatan. Dengan luas wilayah sekitar 3.347,8
Km2, Kabupaten Malang menduduki urutan kedua terluas setelah Kabupaten
Banyuwangi dari 38 kabupaten/kota di Wilayah Propinsi Jawa Timur. Dari seluruh total luas tersebut, lebih
dari 50 persen merupakan lahan pertanian yang berupa sawah, tegalan dan
perkebunan. Sedangkan pemanfaatan untuk pemukiman penduduk sekitar 13,68
persen.
Kabupaten Malang dikelilingi oleh enam kabupaten
dan Samudera Indonesia. Sebelah Utara-Timur, berbatasan dengan Kabupaten
Pasuruan dan Probolinggo. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang.
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah Barat,
berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Sebelah Barat-Utara, berbatasan dengan
Kabupaten Kediri dan Mojokerto. Letak geografis ini menyebabkan Kabupaten
Malang memiliki posisi yang cukup strategis. Hal ini ditandai dengan semakin
ramainya jalur transportasi yang melalui Kabupaten Malang dari waktu ke waktu.
Sedangkan jika dilihat dari topografinya, Kabupaten Malang terdiri dari
gununggunung dan perbukitan. Kondisi topografi yang demikian mengindikasikan
potensi hutan yang besar. Hutan yang merupakan sumber air yang cukup, yang
mengalir sepanjang tahun melalui sungai-sungainya mengairi lahan pertanian.
Beberapa gunung yang menyentuh wilayah Kabupaten Malang yang telah dikenal dan
telah diakui secara nasional yaitu Gunung Semeru (3.676 meter) gunung tertinggi
di Pulau Jawa, Gunung Kelud (1.731 meter), Gunung Welirang (3.156 meter) dan
Gunung Arjuno (3.339 meter), dan masih banyak lagi yang belum dikenal secara
nasional.
Kondisi topografi pegunungan dan perbukitan
menjadikan Kabupaten Malang terkenal sebagai daerah sejuk dan banyak diminati
sebagai tempat tinggal dan tempat peristirahatan. Dengan ketinggian rata-rata
pusat pemerintahan kecamatan 524 meter dari permukaan laut, suhu udara
rata-rata Kabupaten Malang relatif rendah. Pada tahun 2003 rata-rata suhu udara
yang dicatat enam stasiun klimatologi mencapai 23,52 0C, dengan suhu tertinggi
mencapai 29,32 0C, dan suhu terendah mencapai 19,50 oC.
Penetapan
fungsi kawasan di Kabupaten Malang dipilah atas kawasan budidaya tahunan,
kawasan budidaya tanaman semusim, kawasan lindung terbatas, kawasanlindung
lainnya, kawasan penyangga, kawasan perlindungan mata air, kawasan perlindungan
sungai, kawasan perlindungan waduk dan kawasan perlindungan pantai serta
kawasan rawan bencana.
BAB V
Pembahasan
5.1.
Kondisi dan Kontribusi Perikanan Tangkap di Kabupaten Malang
Pembangunan
wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan
nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha perikanan. Sektor perikanan
pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi perbaikan ekonomi
masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan merupakan salah satu dari sekian banyak
golongan ekonomi lemah. Persoalan tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan
segala potensi atau sumberdaya yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan
strategi yang efektif.
Strategi yang
efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif,
modal dan keterampilan serta pemberdayaan kelembagaan untuk meningkatkan
tingkat pendapatan masyarakat miskin. Kategori masyarakat miskin ini, hampir
terjadi di wilayah belahan bumi Indonesia. Seperti halnya masyarakat nelayan di
Kabupaten Malang, kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya masih
tergolong rendah. Karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu
pengkajian ilmiah dengan fokus pembahasan pada strategi peningkatan pendapatan
masyarakat nelayan di kabupaten Malang.
Untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat Nelayan di Kabupaten Malang, pengetahuan dan
keterampilan masyarakat pesisir di Kabupaten tersebut perlu terus ditingkatkan
secara terus menerus melalui berbagai bidang kegiatan baik yang bersifat konstruktrif
maupun pembinaan SDM secara keseluruhan sesuai skala prioritas Pembangunan
Kelautan dan Pesisir di Kabupaten Malang .
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pelelangan ikan di TPI Pondok Dadap Sendang Biru adalah suatu
system atau rangkaian kegiatan yang dimulai dari pembongkaran ikan di ponton
pendaratan ikan sampai pada persiapan pengiriman (packing) ikan setelah
dilakukan pelelangan. TPI bukan hanya tempat bertemunya antara penjual
(nelayan) dengan pembeli (bakul) untuk melakukan transaksi melalui penawaran
lelang tetapi merupakan satu system yang terbagi dalam aktifitas pra lelang,
pelelangan dan pasca lelang. Penyelenggaraan pelelangan ikan dilakukan dengan
menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah baik sumberdaya
manusianya maupun sarana dan prasarana yang tersedia. Hal tersebut merupakan
bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yaitu para nelayan dan bakul
yang memanfaatkan jasa pelelangan ikan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang
ada TPI Sendang Biru tidak bisa dilepaskan dari peran dari pemerintah dalam hal
ini Pemerintah Kabupaten Malang sebagai penyelenggara pelalangan ikan. Tentunya
diperlukan upaya-upaya untuk menyediakan sarana dan prasarana serta
pemeliharaannya agar pelelangan ikan dapat berjalan lancar.
Prasarana yang ada
di TPI Sendang Biru merupakan asset yang dimilki oleh Pemerintah Propinsi Jawa
Timur. Pemerintah Kabupaten Malang dalam ini hanya memanfaatkannya untuk
kepentingan penyelenggaraan pelelangan ikan. Apabila ada kerusakan dari
prasarana yang membutuhkan anggaran besar masih harus menunggu alokasi anggaran
dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur sementara keberadaan prasarana tersebut
sangat mempengaruhi aktifitas pelelangan ikan.
Untuk meningkatkan
kinerja TPI, maka komunikasi dan koordinasi serta kebijakan di lapangan antara
Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Jawa Timur serta KUD Mina Jaya sebagi penyelelenggaraa lelang
sangat perlu diperbaiki terus menerus.
Program pemberdayaan tersebut harus berlandaskan
pada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom
up), sehingga masyarakat merasa memiliki akan program-program tersebut agar
program-program tersebut memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan
masyarakat.
BAB VI
Kesimpulan dan Saran
5.1. Kesimpulan.
Kontribusi sektor perikanan tangkap di
kabupaten Malang masih belum signifikan, meskipun potensi perikanan tangkap di
wilayan kabupaten Malang masih tergolong sangat besar. Hal ini karena teknologi
tangkap yang digunakan nelayan kabupaten Malang
masih sangat sederhana. Selain
itu, produksi perikanan tangkap juga terancam mengalami penurunan akibat
penggunaan teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan ilegal seperti
pemakaian racun dan bahan peledak.
Fasilitas berupa TPI (tempat pelelangan
ikan) tersedia di Kecamatan Sendang Biru yang merupakan sentra produksi
perikanan tangkap di kabupaten Malang. Prasarana yang ada di TPI Sendang Biru merupakan
asset yang dimilki oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten
Malang dalam ini hanya memanfaatkannya untuk kepentingan penyelenggaraan
pelelangan ikan. Jika, terjadi kerusakan dari prasarana yang membutuhkan
anggaran besar, perbaikan baru dilakukan setelah ada alokasi anggaran dari
Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Sementara keberadaan prasarana tersebut sangat
mempengaruhi aktifitas pelelangan ikan sehingga kondisi ini sering menjadi
kendala.
Pemerintah
Kabupaten Malang telah melaksanakan berbagai upaya untuk memberdayakan Masyarakat
nelayan wilayah kabupaten Malang Selatan. Upaya tersebebut dilakukan dengan
memberikan bantuan teknis dan alat kepada para nelayan sehingga mereka dapat
menggunakan teknik tangkap yang lebih baik dan berkelenjutan. Selain itu,
pemerintah kabupaten Malang, dengan dukungan pemerintah pusat, juga telah
melaksanakan kegiatan pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
dan perbaikan kondisi kehidupan nelayan miskin. Namun hal ini masih memerlukan perbaikan terutama
terkait dengan model dan ketepatan sasaran pemberdayaan.
5.2 Saran- Saran
Untuk
meningkatkan kondisi perikanan tangkap dan memberdayakan nelayan, terutama
nelayan miskin di wilayahnya, pemeintah Kabupaten Malang sebaiknya melaksanakan
hal-hal sebagai berikut:
§ Saat ini sarana dan prasarana TPI hanya
terdapat di Sendang Biru dan pemeliharaannya sangat tergantung kepada
pemerintah Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang perlu menambah jumlah TPI di kecamatan lain.
Selain itu pemkab Malang perlu menyediakan anggaran untuk perawatan dan
tambahan sarana prasarana lain sehingga kegiatan pelelangan di Kabupaten Malang
akan lebih lancar.
§ Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Malang perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan
Kelautan Propinsi Jawa Timur serta KUD Minajaya yang membantu penyelelenggaraan
lelang.
§ Frekwensi pembinaan dan sosiasasi baik
teknis maupun non teknis perlu ditingkatkan, baik pembinaan yang sifatnya rutin
maupun pembinaan/sosialisasi yang insidentil. Pembinaan ini tidak cukup kalau
hanya dari instansi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan saja namun juga
harus melibatkan instansi-instansi terkait lainnya. Hal ini perlu dilakukan
agar dalam mengatasi persoalan yang cukup kompleks tidak hanya diselesaikan
secara sepihak dan untuk mencegah terjadinya konflik yang tak berujung.
Misalnya pembinaan teknis penangkapan dan budidaya perikanan laut, pembinaan
kehidupan sosial ekonomi, sosialisasi hukum dan perundang-undangan, serta
pembinaan/ sosialisasi lainnya.
§ Untuk mengatasi kesulitan akses
transportasi dan pemasaran hasil/produk perikanan diperlukan adanya koordinasi
yang lebih intensif dan maksimal antar instansi terkait.
§ Mengatur jadwal kegiatan ulang secara
lebih efektif dan efisien yang disesuaikan dengan pencairan dana dan
ketersediaan waktu yang ada. Juga mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang
muncul dengan seluruh komponen yang terlibat baik langsung maupun tidak
langsung.
§ Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan
secara kontinyu tentang pengendalian sumberdaya kelautan yang ramah lingkungan
serta penegakan hukum.
§ Fungsional di tingkat Kabupaten segera
menentukan lokasi binaan sehingga dapat memonitor lebih intensif kegiatan
kelompok yang ada di lapangan melalui petugas yang berada di lapangan dan
mengadakan penilaian kelas kelompok selanjutnya mengukuhkan atau menaikkan
kelompok.
§ Dalam pembinaan selanjutnya sebaiknya
dipecah menjadi beberapa kelompok atau menjadi sub kelompok yang anggotannya
lebih kecil sehinnga mempermudah dalam pembinaan dan penyampaian informasi
teknis maupun non teknis.
§ Diharapkan pada kegiatan percontohan yang
akan datang , pelaksanaannya disesuaikan dengan musim serta kondisi lapangan
yang berjalan sehingga hasilnya akan maksimal.
§
Program
pemberdayaan yang dilakukan sebaiknya menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (a) Kelembagaan.
Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam
suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka
dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate)
antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi
suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara
kelompok lainnya. (b) Pendampingan.
Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program
pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena
kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin
masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya
diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu. Terlepas dari itu semua, peran pendamping
sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya.
Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat
pada kelompok yang tepat pula. (c) Dana
Usaha Produktif Bergulir. Disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha
produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok
pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk
digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya akan disepakati di
dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan
fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping.
DAFTAR PUSTAKA
BPS
– Propinsi Jawa Timur, 1999. Jawa Timur Dalam Angka 1999.
Surabaya –
Jatim.
BPS – Kabupaten Malang, 2006. Kabupaten Malang Dalam Angka 2006. Malang – Jatim.
Davis, B.G. 1991. Kerangka
Dasar Sistem Informasi Manajemen I dan II (terjemahan). Pustaka
Binaan Presindo, Jakarta.
Dillon,
W.R and Goldstein, M. 1984. Multivariat Analysis: Methoda and Application. John Willey and Sons. New York .
Moekijat,
1996. Pengantar
Sistem Informasi Manajemen. Remaja Rosdakarya. Bandung .
Murdjijo,
F.X. 1996. Kebijakan Pemerintah Dalam
Mengembangkan Agribisnis Sub Sektor Perikanan Pada Pelita VI. Makalah
disampaikan pada: Seminar Sehari Gelar Agromina Perikanan Penas IX
Pertasikencana. Fakultas Perikanan IPB. Bogor .
Naamin, N. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi
Pembangunan Perikanan Yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Perikanan
Indonesia I. Jakarta.
Pemkab Malang. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)Kabupaten Malang.
Malang – Jatim.
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: AHP Untuk Pengambilan
Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. IPPM. Jakarta.
Saleh, S. 1992. Pengembangan Agroindustri Perikanan di Indonesia. Prosiding Temu
Karya Ilmiah Dukungan Penelitian Bagi Pengembangan Agroindustri Perikanan. Jakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar