Jumat, 27 Januari 2012

Model Pemberdayaan Masyarakat Nelayan Kawasan Sentra Produksi Perikanan Pantai Selatan Kabupaten Malang




BAB I
Pendahuluan 
1.1 Latar Belakang
saat ini sebagian besar masyarakat pesisir masih dililit kemiskinan.  Berbagai fenomena kerusakan lingkungan pesisir dan lautan bukan hanya disebabkan oleh industrialisasi, tetapi juga seringkali diakibatkan oleh kemiskinan penduduk.  Penduduk yang miskin akan menyeret kepada keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan racun atau pestisida dengan tidak melihat keberlanjutan (sustainibility) sumberdaya alam yang ada.
Secara umum, permasalahan yang dialami para nelayan Indonesia yang bergantung hidup dari perikanan tangkap terdiri dari dua bagian besar, yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Permasalahan internal berasal dari ruang lingkup perikanan tangkap sendiri, khususnya dari stakeholder yang terlibat. Sedangkan permasalahan eksternal berasal dari kebijakan pemerintah, atau sektor di luar perikanan tangkap yang terkait.
Permasalahan internal yang dihadapi diadapi para nelayan Indonesia umumnya adalah:
  1. Terjadi ketidakseimbangan dalam pemanfaatan SDI laut di Wilayah Pengelolaan Perikanan. Sebagian WPP, misalnya Selat Malaka) dan Laut Jawa telah mengalami overfishing, sementara WPP lain sudah mengalami padat tangkap dan  ada pula yang  masih underfishing.
  2. Lemahnya usaha perikanan tangkap skala kecil akibat minimnya kemampuan untuk meningkatkan produktifitas. Kemampuan yang rendah disebabkan penguasaan teknologi pengolahan yang rendah, keterbatasan akses permodalan, minimnya kemampuan manajemen, dan masih bersifat padat karya. Orientasi pengelolaan yang bersifat sistem kemitraan, seperti pola Grameen Bank perlu diadopsi.
  3. Sebaran pelabuhan perikanan masih belum merata. Pelabuhan yang terletak di WPP yang dekat dengan samudera masih berstatus pelabuhan perikanan pantai atau pelabuhan perikanan nusantara. Demikian juga dengan fasilitas pelabuhan perikanan di WPP yang masih underfishing belum ditingkatkan statusnya.
  4. Struktur armada perikanan nasional masih didominasi kapal skala kecil (tanpa motor). Jumlah kapal motor memang mengalami peningkatan terus-menerus, namun tidak sebanding dengan potensi lestari sumberdaya ikan. Hal yang juga harus diperhatikan adalah peningkatan kemampuan nelayan dan penggunaan alat tangkap yang efisien dan efektif.
  5. Skema perizinan yang masih birokratis dan implementasinya menuju skema pelayanan satu atap masih jauh dari harapan. Penyederhanaan izin bagi kapal perikanan Indonesia perlu dilakukan. Kapal perikanan Indonesia juga harus dikaji benar-benar mengingat keberpihakan terhadap nelayan lokal harus kuat.
  6. Masih terjadi konflik antar nelayan, baik itu konflik yang merupakan kelanjutan dari konflik tahun sebelumnya maupun konflik baru. Khususnya antara nelayan modern dengan nelayan tradisional. Upaya mengatasi konflik harus dilakukan secara sinergitas dan menggunakan skenario tertentu.
  7. Penetapan pungutan di bidang perikanan adalah produktivitas suatu kapal ikan tidak hanya ditentukan dari besar kecilnya ukuran GT kapal, namun jenis dan banyaknya hasil tangkapan yang mampu diproduksi oleh kapal ikan dalam setiap kali operasi penangkapan. Hal ini tergantung pada jenis alat tangkap dan lamanya waktu operasi penangkapan serta kapasitas palka dari kapal ikan itu sendiri.
  8. Perbedaan ukuran GT kapal pada dokumen kapal dengan ukuran GT kapal yang sesungguhnya. Permasalahan ukuran GT juga akan timbul pada kasus penanganan kapal-kapal ikan asing yang memiliki cara pengukuran GT yang berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia atau internasional. Cek fisik atau pengukuran ulang GT kapal merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengantisipasi penyimpangan ukuran GT atau keraguan terhadap ukuran GT kapal.
Sedangkan permasalahan eksternal yang umumnya mereka hadapi adalah:
1.      Kenaikan harga BBM terhadap usaha perikanan tangkap menyebabkan beban biaya operasional penangkapan bagi nelayan kecil bertambah. Hal yang sama terjadi pada usaha perikanan tangkap skala besar. Rasio biaya BBM dan biaya operasional kapal mengalami peningkatan yang signifikan yaitu 67 persen. Kenaikan harga BBM merupakan ihwal yang sulit untuk dicegah mengingat harga minyak di pasaran dunia terus mengalami peningkatan. Sehingga harus dicari alternatif pemecahannya dalam jangka panjang. Dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 55 tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak Dalam Negeri yang mulai berlaku sejak 11 April 2006 merupakan langkah jangka pendek dan tidak mungkin diandalkan untuk mewujudkan visi 2020.
2.      Merebaknya IUU Fishing yang telah banyak merugikan negara menyebabkan pemikiran untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan harus dimulai. Kapal asing yang melakukan IUU Fishing harus ditenggelamkan agar tidak mungkin lagi mencuri ikan di perairan Indonesia.
Berbagai permasalahan diatas menyebabkan timbulnya kemiskinan Kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang terutama ditimbulkan oleh enam penyebab utama:
a.    Hasil tangkap per satuan upaya (catch per unit of effort), yang dicerminkan dalam bentuk hasil tangkap per hari per perahu/nelayan, relatif kecil dan daerah-daerah yang telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), seperti Pantai Utara dan selatan Jawa dan Selatan Sulawesi, cenderung menurun.  Hasil tangkapan juga bersifat fluktuatif, terkadang dapat hasil tangkapan baik, tetapi seringkali hanya dapat hasil sedikit, bergantung ada, musim.  Bergantung pada lokasi, dalam satu tahun musim tangkapan yang baik berkisar antara empat sampai delapan bulan saja.  Selain karena kondisi biofisik laut dan sumberdaya ikan yang bersifat musiman tersebut, hasil tangkap yang rendah juga disebabkan karena teknologi penangkapan (parahu/kapal penangkapan atau alat tangkap) ikan yang digunakan oleh sebahagian besar nelayan Indonesia masih bersifat tradisional.  Sampai saat ini sekitar 85% dari nelayan Indonesia (yang berjumlah 2,8 juta) adalah nelayan tradisional.
b.    Dalam rantai tata niaga nelayan memiliki posisi tawar (bargaining posistion) yang sangat rendah ketika menjual hasil tangkapan (produk) maupun pada saat membeli input produksi (seperti bahan bakar, jaring, es, dan bahan serta peralatan lainnya).  Hal ini disebabkan karena nelayan menjual hasil tangkapnya tidak langsung kepada konsumen (pasar) akhir, tetapi melalui beberapa pedagang perantara (midleman).  Keuntungan terbesar (profit margin) bukan dinikmati oleh nelayan, tetapi sebagian besar jatuh ke tangan para pedagang perantara (tengkulak).  Misalnya, harga ikan kembung di tempat pendaratan ikan di tempat pendaratan ikan di desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon saat ini adalah Rp 2.000/kg, padahal harga jenis ikan yang sama di Kota Cirebon sekitar Rp 5.000/kg, dan di Bogor Rp 8.0000/kg.  Selain itu, harga jual ikan para nelayan juga sering mengalami kondisi “market glut”, suatu kondisi di mana pada saat hasil tangkapan nelayan baik (melimpah) harga jual ikan turun secara drastis, sebaliknya ketika hasil tangkapan berkurang (paceklik) harga jual ikan menjadi mahal.  Sebaliknya, ketika para nelayan membeli input produksi, mereka harus membayar kepada pedagang perantara di desanya dengan harga yang jauh lebih mahal dari pada harga barang tersebut di tingkat produsen (pabrik).  Dengan perkataan lain, nelayan dalam konteks tata niaga terjebak dalam kemiskinan struktural (structural poverty).
c.    Penguasaan dan penerapan teknologi pasca panen (penanganan/handling dan pengolahan/processing) untuk hasil perikanan di Indonesia masih sangat lemah.  Padahal teknologi pasca panen memegang peran yang sangat penting dalam memelihara kesegaran produk perikanan, karena jenis produk ini sangat mudah busuk (highly perishable), dan dalam meningkatkan harga jual (nilai tambah) produk.  Harga ikan segar jauh lebih mahal ketimbang harga ikan yang sudah busuk, bahkan ikan busuk biasanya tidak ada harganya karena tidak sehat dikonsumsi oleh manusia.  Contoh lain adalah dalam hal ekspor rumput laut.  Hampir semua ekspor rumput laut Indonesia berupa rumput laut kering, tanpa diolah lebih dulu menjadi produk semi-jadi atau produk jadi, seperti agar-agar, alginat, dan kareginan; sehingga nilai tambah produk ini bukan Indonesia yang menikmati, tetapi negara pengimpor yang banyak memperoleh nilai tambah nya melalui produk makanan sehat, kosmetika, dan obat-obatan.
d.    Akses nelayan terhadap informasi, teknologi, pasar, permodalan (kapital), dan manajamen usaha sejauh ini masih sangat rendah.  Oleh karena itu wajar, jika menurut data BPS (1998) bahwa sebagian masyarakat peisir (nelayan) Indonesia tergolong kelompok masyarakat termiskin dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.
e.    Budaya dan pola pikir (mindset) sebagian besar masyarakat pesisir belum responsif dan kondusif tehadap kemajuan dan pembangunan.  Misalnya, mereka sebagian besar belum mampu mengelola ekonomi keluarga (pendapatan-pengeluaran) secara efisien dan optimal, mereka cenderung boros dan enggan menabung.
f.     Kondisi prasarana dan sarana (fasilitas sosial dan fasilitas umum), berupa pendidikan, air bersih, tempat ibadah, jalan, listrik, komunikasi, dan lainnya; serta sanitasi lingkungan hampir semua perkampungan pesisir (nelayan) di Indonesia tergolong buruk dan kumuh.  Wajar bila kondisi kesehatan para nelayan juga relatif kurang baik.
Oleh karena itu, pembangunan dan pengembangan sektor kelautan Indonesia memiliki tiga ciri strategis yaitu,
a.    Harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi berupa devisa, sumbengan terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja dan beberapa indikator dasar perekonomian lainnya. 
b.    Harus mampu memberikan keuntungan yang berarti bagi semua pelaku usaha dan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan serta petani ikan tradisional yang masih terbelakang. Dengan kata lain bidang kelautan dan perikanan harus dapat memberikan pemerataan (equality) kesejahteraan bagi semua pelaku usaha secara proposional.
c.    Pembangunan kelautan dan perikanan  harus mampu memelihara kualitas dan daya dukung lingkungannya, sehingga pembangunan  ekonomi kelautan dan perikanan dapat berlangsung secara berkesinambungan.
Untuk mewujudkan kondisi tersebut diatas maka perlu dipertimbangkan bahwa wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang sangat besar dimana terbuka peluang yang besar pula untuk memanfaatkannya, akan tetapi kendala terbesar bagi pemanfaatan potensi dan peluang tersebut terletak pada kemampuan domestik, serta tatanan kelembagaan yang tersedia. Oleh kerana itu peluang tersebut harus dimanfaatakan seoptimal mungkin oleh para pelaku usaha demi kepentingan pembangunan masyarakat seluas-luasnya. Perlu disadari pula bahwa peran pemerintah dalam hal ini bahwa peran pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya tersebut hanya terbatas sebagai fasilitator, dinamisator dan regulator. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan dukungan dan kesempatan seluas-luasnya pada setiap kelompok masyarakat.
Dengan memperhatikan potensi sumberdaya alam, prospek perkembangan usaha, sarana dan prasarana serta kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Kawasan Sentra Produksi (KSP) Perikanan Laut Pantai Selatan Jawa Timur, khususnya Kabupaten Malang serta dengan mempertimbangkan visi pembangunan kelautan dan perikanan Nasional, maka dipandang perlu untuk melakukan studi terapan (action research).


1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok sebagai berikut:
a.    Bagaimana potensi dan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas nelayan di KSP Perikanan Laut di Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b.    Bagaimana konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang propinsi Jawa Timur dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan wilayah.
c.    Apa kebutuhan sarana pokok dan pendukung yang dapat merealisasikan program pengembangan yang dibuat di KSP Perikanan di Kabupaten Malang.
d.    Bagaimana rancangan model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang yang dapat menjamin keberlanjutan usaha.
e.    Bagaimana bentuk atau model pendekatan yang sesuai untuk memberdayakan komunitas masyarakat nelayan.
f.     Program diversifikasi apa yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di setiap KSP Perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.


1.3. Tujuan dan manfaat Penelitian
1.3.1.   Tujuan Penelitian
a.    Mengidentifikasi lokasi potensi dan permasalahan di Kawasan Sentra Produksi Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang.
b.    Mengklasifikasikan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berdasarkan potensi produksi, teknologi pengolahan pasca panen, dan pemasaran.
c.    Menyusun konsep pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang dalam upaya pemerataan pembangunan perikanan dan pengembangan wilayah.
d.   Menyusun model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang berwawasan lingkungan.
e.    Menyusun dan mengembangkan model pemberdayaan masyarakat nelayan Kabupaten Malang dengan melibatkan seluruh pelaku usaha perikanan laut.
f.     Menyusun strategi pengembangan agroindustri perikanan laut Pantai Kabupaten Malang.


1.3.2 Manfaat Penelitian
a.   Diperoleh suatu model pengembangan KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sehingga dapat digunakan sebagai sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan pembangunan wilayah.
b.   Dapat dirumuskan suatu kebijakan pengembangan di setiap KSP Perikanan Laut Pantai Selatan Kabupaten Malang sesuai dengan karakteristik potensi sumberdaya, perkembangan teknologi, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat.
c.   Model dapat diadopsi untuk program pengembangan di KSP Perikanan Laut di wilayah yang lain.


BAB II
Landasan Teori dan Kerangka Pemikiran

2.1.  Keragaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah memasuki usia 5 (lima) tahun sejak dibentuknya menjelang akhir tahun 1999 pada masa pemerintahan Presiden KH. Abudurrahman Wahid. Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sejak bulan Juli 2001, peranan DKP menjadi semakin penting sebagai salah satu komponen untuk mewujudkan program normalisasi kehidupan ekonomi, dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat, yang merupakan salah satu program kerja Kabinet Gotong Royong pada periode tersebut.
Arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dalam periode tahun 2000-2004 masih mengacu kepada Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2000-2004, Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Kelautan dan Perikanan 2001-2004, serta Program Kerja Kabinet Gotong Royong. Pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan didasarkan pada konsepsi pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh pengembangan industri berbasis keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam mencapai daya saing yang tinggi. Pencapaian hasil (kinerja) Departemen Kelautan dan Perikanan terutama dalam periode 2000-2004, diukur dari indikator proses (process indicators) dan indikator luaran (output indicators). Indikator proses mencakup adanya konsistensi kebijakan dan program dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Indikator luaran merupakan hasil dari implementasi kebijakan dan program pembangunan kelautan dan perikanan dalam periode tahun 2000-2004 antara lain sebagai berikut :
1. Lingkungan
Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat berpengaruh pada tingkat produktivutas sumber daya kelautan dan perikanan meliputi: ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, padang lamun dan estuaria, serta ekosistem budidaya laut. Secara umum kondisi ekosistem laut, pesisir dan pulau-pulau kecil telah mengalami degradasi fisiik dengan laju degradasi yang mengancam keberlanjutan dan kelestarian sumber daya. Saat ini, kondisi ekosistem terumbu karang dapat digambarkan sebagai berikut :
·         Luas terumbu karang di perairan Indonesia mencapai lebih dari 60.000 km2. Wilayah Indonesia merupakan lokasi bagi sekitar 1/8 dari terumbu karang dunia dan merupakan wilayah yang kaya dengan keanekaragaman biota perairan.
·         Terdapat 300 jenis karang sebagai habitat dari 200 jenis ikan, mollusca, crustacea, sponge, algae, lamun dan biota lainnya.
·         Kondisi terumbu karang saat ini mencapai kerusakan rata-rata 40% (sumber : P3O-LIPI) dengan rincian : rusak berat 40,14%, rusak sedang 29,22%, dan baik 6,41-24,23%. Di Indonesia Barat kondisi memuaskan tinggal 3,93%, di Indonesia Tengah tinggal 7,09%, sedangkan di Indonesia Timur kondisi memuaskan tinggal 9,80%.
·         Penyebab kerusakan terumbu karang antara lain adalah (i) kegiatan manusia : penangkapan dengan alat yang merusak dan eksploitasi berlebih, pencemaran dan sedimentasi, perencanaan kurang tepat, dampak pembangunan di darat dan (ii) faktor alam: Elnino, La-Nina, topan, gempa dan banjir
·         Wilayah yang mengalami degradasi oleh pencemaran tinggi antara lain adalah di Jawa Barat, Jawa Timur, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Lampung dan Sulawesi Selatan.
Sedangkan untuk ekosistem mangrove, kondisi saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
·         Mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut karena memiliki fungsi proteksi, ekologi, dan ekonomi.    Disamping itu, wilayah mangrove merupakan daerah asuhan (nursery ground), pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground), serta shelter berbagai jenis biota. Potensi lain adalah sebagai tempat ekowisata.
·         Pada periode 1982-1993, terjadi penurunan luasan mangrove dari 5,21 juta menjadi 2,5 juta ha dan terjadi hampir merata di seluruh wilayah pesisir.
·         Konversi lahan mangrove menjadi lahan usaha tambak secara besar-besaran terjadi di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Timur (delta Mahakam). Demikian pula konversi lahan mangrove menjadi lahan industri terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali.
·         Terjadinya konflik penggunaan ruang dengan pertanian, permukiman, pertambangan, perhubungan laut dan pariwisata menyebabkan sebagian wilayah mangrove tidak dapat dipertahankan.
Untuk ekosistem padang lamun (seagrass), yang merupakan sumber produktivitas primer pendukung kehidupan biota laut, kondisi saat ini dapat digambarkan sebagai berikut :
·         Lamun merupakan ekosistem penyangga pantai terhadap abrasi dan erosi, serta sebagai perangkap sedimen dan penstabil dasar laut. Di Indonesia ditemukan 12 jenis dominan yang termasuk ke dalam 7 marga & 2 suku, juga terdapat jenis lamun dalam skala besar & menutupi dasar perairan yang luas membentuk suatu padang lamun (seagrass bed).
·         Penyebaran ekosistem padang lamun di Indonesia mencakup wilayah perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Teng-gara dan Papua.
Gambar 2.2. Bagan Alir Proses Administrasi Perizinan Operasional Kapal Perikanan (SPI/SIKPI)

Ya
 
                        Sumber: Website DKP (2007)


Bagi perusahaan yang akan mengajukan SPI, IUP atau berbagai perizinan di bidang perikanan dikenakan beberapa pungutan antara lain Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP), Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dan  Pungutan Perikanan Asing.
Jenis dan ukuran kapal perikanan yang diizinkan beroperasi di perairan Indonesia adalah: 1) Kapal konstruksi baja atau fibre-glass, dengan tipe: long-line berukuran 100-350 GT; purse seine berukuran 100-800 GT; Pukat Ikan berukuran 100-400 GT; pukat udang, bouke ami, squid jigging, gill net berukuran 100-300 GT. 2) kapal perikanan asing terbuat dari konstruksi kayu berukuran 60-150 GT. 3) ukuran panjang alat penangkap ikan jenis jaring insang hanyut (drift gill-net) tidak lebih dari 2500 meter. 4) Pengoperasian pukat ikan (fish net) dan pukat udang (shrimp net) dilarang menggunakan 2 (dua) kapal. Selain itu, apabila kapal berbendera asing beroperasi di perairan Indonesia wajib memperkerjakan ABK Indonesia sekurang-kurangnya 20% dari jumlah seluruh ABK untuk masing-masing kapal. Proses administrasi pengadaan sampai pengoperasian kapal perikanan dapat dilihat pada Gambar 2.3.




Gambar 2.3. Bagan Alir Proses Administrasi Pengadaan sampai Pengoperasian Kapal Perikanan

Sumber: Website DKP (2007)
BAB IV
Gambaran umum obyek dan Hasil Penelitian.


4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Malang
Secara geografis Kabupaten Malang terletak antara 112o17’,10,90” sampai dengan 122o57’ ,00,00” Bujur Timur dan 7o44’,55,11” sampai dengan 8o26’,35,45” Lintang Selatan. Dengan luas wilayah sekitar 3.347,8 Km2, Kabupaten Malang menduduki urutan kedua terluas setelah Kabupaten Banyuwangi dari 38 kabupaten/kota di Wilayah Propinsi Jawa Timur. Dari seluruh total luas tersebut, lebih dari 50 persen merupakan lahan pertanian yang berupa sawah, tegalan dan perkebunan. Sedangkan pemanfaatan untuk pemukiman penduduk sekitar 13,68 persen.
Kabupaten Malang dikelilingi oleh enam kabupaten dan Samudera Indonesia. Sebelah Utara-Timur, berbatasan dengan Kabupaten Pasuruan dan Probolinggo. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Lumajang. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Samudera Indonesia. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Blitar. Sebelah Barat-Utara, berbatasan dengan Kabupaten Kediri dan Mojokerto. Letak geografis ini menyebabkan Kabupaten Malang memiliki posisi yang cukup strategis. Hal ini ditandai dengan semakin ramainya jalur transportasi yang melalui Kabupaten Malang dari waktu ke waktu. Sedangkan jika dilihat dari topografinya, Kabupaten Malang terdiri dari gununggunung dan perbukitan. Kondisi topografi yang demikian mengindikasikan potensi hutan yang besar. Hutan yang merupakan sumber air yang cukup, yang mengalir sepanjang tahun melalui sungai-sungainya mengairi lahan pertanian. Beberapa gunung yang menyentuh wilayah Kabupaten Malang yang telah dikenal dan telah diakui secara nasional yaitu Gunung Semeru (3.676 meter) gunung tertinggi di Pulau Jawa, Gunung Kelud (1.731 meter), Gunung Welirang (3.156 meter) dan Gunung Arjuno (3.339 meter), dan masih banyak lagi yang belum dikenal secara nasional.
Kondisi topografi pegunungan dan perbukitan menjadikan Kabupaten Malang terkenal sebagai daerah sejuk dan banyak diminati sebagai tempat tinggal dan tempat peristirahatan. Dengan ketinggian rata-rata pusat pemerintahan kecamatan 524 meter dari permukaan laut, suhu udara rata-rata Kabupaten Malang relatif rendah. Pada tahun 2003 rata-rata suhu udara yang dicatat enam stasiun klimatologi mencapai 23,52 0C, dengan suhu tertinggi mencapai 29,32 0C, dan suhu terendah mencapai 19,50 oC.
 Penetapan fungsi kawasan di Kabupaten Malang dipilah atas kawasan budidaya tahunan, kawasan budidaya tanaman semusim, kawasan lindung terbatas, kawasanlindung lainnya, kawasan penyangga, kawasan perlindungan mata air, kawasan perlindungan sungai, kawasan perlindungan waduk dan kawasan perlindungan pantai serta kawasan rawan bencana.
BAB V
Pembahasan


5.1.  Kondisi dan Kontribusi Perikanan Tangkap di Kabupaten Malang
Pembangunan wilayah pesisir pada umumnya dikaitkan dengan upaya pengentasan kemiskinan nelayan yang kehidupannya tergantung pada usaha perikanan. Sektor perikanan pada hakekatnya dapat dikembangkan sebagai alternatif bagi perbaikan ekonomi masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan merupakan salah satu dari sekian banyak golongan ekonomi lemah. Persoalan tersebut harus diatasi dengan mendayagunakan segala potensi atau sumberdaya yang tersedia yang ditunjang dengan penerapan strategi yang efektif.
Strategi yang efektif dapat dicapai melalui penggunaan teknologi, tenaga kerja intensif, modal dan keterampilan serta pemberdayaan kelembagaan untuk meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat miskin. Kategori masyarakat miskin ini, hampir terjadi di wilayah belahan bumi Indonesia. Seperti halnya masyarakat nelayan di Kabupaten Malang, kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya masih tergolong rendah. Karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu pengkajian ilmiah dengan fokus pembahasan pada strategi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan di kabupaten Malang.
Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Nelayan di Kabupaten Malang, pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir di Kabupaten tersebut perlu terus ditingkatkan secara terus menerus melalui berbagai bidang kegiatan baik yang bersifat konstruktrif maupun pembinaan SDM secara keseluruhan sesuai skala prioritas Pembangunan Kelautan dan Pesisir di Kabupaten Malang . 
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelelangan ikan di TPI Pondok Dadap Sendang Biru adalah suatu system atau rangkaian kegiatan yang dimulai dari pembongkaran ikan di ponton pendaratan ikan sampai pada persiapan pengiriman (packing) ikan setelah dilakukan pelelangan. TPI bukan hanya tempat bertemunya antara penjual (nelayan) dengan pembeli (bakul) untuk melakukan transaksi melalui penawaran lelang tetapi merupakan satu system yang terbagi dalam aktifitas pra lelang, pelelangan dan pasca lelang. Penyelenggaraan pelelangan ikan dilakukan dengan menggunakan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah baik sumberdaya manusianya maupun sarana dan prasarana yang tersedia. Hal tersebut merupakan bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat yaitu para nelayan dan bakul yang memanfaatkan jasa pelelangan ikan. Ketersediaan sarana dan prasarana yang ada TPI Sendang Biru tidak bisa dilepaskan dari peran dari pemerintah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Malang sebagai penyelenggara pelalangan ikan. Tentunya diperlukan upaya-upaya untuk menyediakan sarana dan prasarana serta pemeliharaannya agar pelelangan ikan dapat berjalan lancar. 
Prasarana yang ada di TPI Sendang Biru merupakan asset yang dimilki oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang dalam ini hanya memanfaatkannya untuk kepentingan penyelenggaraan pelelangan ikan. Apabila ada kerusakan dari prasarana yang membutuhkan anggaran besar masih harus menunggu alokasi anggaran dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur sementara keberadaan prasarana tersebut sangat mempengaruhi aktifitas pelelangan ikan.
Untuk meningkatkan kinerja TPI, maka komunikasi dan koordinasi serta kebijakan di lapangan antara Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur serta KUD Mina Jaya sebagi penyelelenggaraa lelang sangat perlu diperbaiki terus menerus.
Program pemberdayaan tersebut harus berlandaskan pada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), sehingga masyarakat merasa memiliki akan program-program tersebut agar program-program tersebut memiliki dampak yang berarti bagi kehidupan masyarakat.
BAB VI
Kesimpulan dan Saran

5.1. Kesimpulan.
Kontribusi sektor perikanan tangkap di kabupaten Malang masih belum signifikan, meskipun potensi perikanan tangkap di wilayan kabupaten Malang masih tergolong sangat besar. Hal ini karena teknologi tangkap yang digunakan nelayan kabupaten Malang  masih sangat sederhana.  Selain itu, produksi perikanan tangkap juga terancam mengalami penurunan akibat penggunaan teknik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan ilegal seperti pemakaian racun dan bahan peledak. 
Fasilitas berupa TPI (tempat pelelangan ikan) tersedia di Kecamatan Sendang Biru yang merupakan sentra produksi perikanan tangkap di kabupaten Malang. Prasarana yang ada di TPI Sendang Biru merupakan asset yang dimilki oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang dalam ini hanya memanfaatkannya untuk kepentingan penyelenggaraan pelelangan ikan. Jika, terjadi kerusakan dari prasarana yang membutuhkan anggaran besar, perbaikan baru dilakukan setelah ada alokasi anggaran dari Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Sementara keberadaan prasarana tersebut sangat mempengaruhi aktifitas pelelangan ikan sehingga kondisi ini sering menjadi kendala.
Pemerintah Kabupaten Malang telah melaksanakan berbagai upaya untuk memberdayakan Masyarakat nelayan wilayah kabupaten Malang Selatan. Upaya tersebebut dilakukan dengan memberikan bantuan teknis dan alat kepada para nelayan sehingga mereka dapat menggunakan teknik tangkap yang lebih baik dan berkelenjutan. Selain itu, pemerintah kabupaten Malang, dengan dukungan pemerintah pusat, juga telah melaksanakan kegiatan pemberdayaan yang ditujukan untuk meningkatkan pendapatan dan perbaikan kondisi kehidupan nelayan miskin. Namun hal ini masih memerlukan perbaikan terutama terkait dengan model dan ketepatan sasaran pemberdayaan.

5.2 Saran- Saran
Untuk meningkatkan kondisi perikanan tangkap dan memberdayakan nelayan, terutama nelayan miskin di wilayahnya, pemeintah Kabupaten Malang sebaiknya melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
§  Saat ini sarana dan prasarana TPI hanya terdapat di Sendang Biru dan pemeliharaannya sangat tergantung kepada pemerintah Propinsi Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Malang perlu menambah jumlah TPI di kecamatan lain. Selain itu pemkab Malang perlu menyediakan anggaran untuk perawatan dan tambahan sarana prasarana lain sehingga kegiatan pelelangan di Kabupaten Malang akan lebih lancar.
§  Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang perlu meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur serta KUD Minajaya yang membantu penyelelenggaraan lelang.
§  Frekwensi pembinaan dan sosiasasi baik teknis maupun non teknis perlu ditingkatkan, baik pembinaan yang sifatnya rutin maupun pembinaan/sosialisasi yang insidentil. Pembinaan ini tidak cukup kalau hanya dari instansi Dinas Peternakan, Kelautan dan Perikanan saja namun juga harus melibatkan instansi-instansi terkait lainnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam mengatasi persoalan yang cukup kompleks tidak hanya diselesaikan secara sepihak dan untuk mencegah terjadinya konflik yang tak berujung. Misalnya pembinaan teknis penangkapan dan budidaya perikanan laut, pembinaan kehidupan sosial ekonomi, sosialisasi hukum dan perundang-undangan, serta pembinaan/ sosialisasi lainnya.
§  Untuk mengatasi kesulitan akses transportasi dan pemasaran hasil/produk perikanan diperlukan adanya koordinasi yang lebih intensif dan maksimal antar instansi terkait.
§  Mengatur jadwal kegiatan ulang secara lebih efektif dan efisien yang disesuaikan dengan pencairan dana dan ketersediaan waktu yang ada. Juga mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang muncul dengan seluruh komponen yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung.
§  Perlu adanya sosialisasi dan penyuluhan secara kontinyu tentang pengendalian sumberdaya kelautan yang ramah lingkungan serta penegakan hukum.
§  Fungsional di tingkat Kabupaten segera menentukan lokasi binaan sehingga dapat memonitor lebih intensif kegiatan kelompok yang ada di lapangan melalui petugas yang berada di lapangan dan mengadakan penilaian kelas kelompok selanjutnya mengukuhkan atau menaikkan kelompok.
§  Dalam pembinaan selanjutnya sebaiknya dipecah menjadi beberapa kelompok atau menjadi sub kelompok yang anggotannya lebih kecil sehinnga mempermudah dalam pembinaan dan penyampaian informasi teknis maupun non teknis.
§  Diharapkan pada kegiatan percontohan yang akan datang , pelaksanaannya disesuaikan dengan musim serta kondisi lapangan yang berjalan sehingga hasilnya akan maksimal.
§  Program pemberdayaan yang dilakukan sebaiknya menggunakan tiga pendekatan, yaitu:  (a) Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya. (b) Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula. (c) Dana Usaha Produktif Bergulir. Disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping. 


DAFTAR PUSTAKA

BPS – Propinsi Jawa Timur, 1999. Jawa Timur Dalam Angka 1999. Surabaya – Jatim.

BPS – Kabupaten Malang, 2006. Kabupaten Malang Dalam Angka 2006. Malang – Jatim.

Davis, B.G.  1991. Kerangka Dasar Sistem Informasi Manajemen I dan II (terjemahan). Pustaka Binaan Presindo, Jakarta.

Dillon, W.R and Goldstein, M. 1984. Multivariat Analysis: Methoda and Application. John Willey and Sons. New York.

Moekijat, 1996. Pengantar Sistem Informasi Manajemen. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Murdjijo, F.X. 1996. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengembangkan Agribisnis Sub Sektor Perikanan Pada Pelita VI. Makalah disampaikan pada: Seminar Sehari Gelar Agromina Perikanan Penas IX Pertasikencana. Fakultas Perikanan IPB. Bogor.
Naamin, N. 1993. Potensi Sumberdaya Perikanan Laut dan Strategi Pemanfaatannya Bagi Pembangunan Perikanan Yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I. Jakarta.
Pemkab Malang. 2006. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)Kabupaten Malang. Malang – Jatim.
Saaty, T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin: AHP Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. IPPM. Jakarta.
Saleh, S. 1992. Pengembangan Agroindustri Perikanan di Indonesia. Prosiding Temu Karya Ilmiah Dukungan Penelitian Bagi Pengembangan Agroindustri Perikanan. Jakarta.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar