PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Penelitian
Krisis ekonomi, yang diawali oleh jatuhnya perusahaan raksasa Amerika Serikat pada tahun 2008 seperti Lehman
Brothers dan Merill Lynch, memberikan efek
domino ke negara-negara Eropa dan
Asia sehingga mengakibatkan timbulnya krisis
ekonomi global. Krisis ekonomi yang
mendunia ini terutama sangat dirasakan
oleh negara dunia ketiga karena ketergantungan yang tinggi negara-negara
tersebut pada negara-negara yang perekonomiannya lebih kuat.
Sebagai pelaku pasar dunia Indonesia juga tidak luput
dari hantaman krisis ini. Hal ini
diindikasikan dari goyahnya pasar modal, nilai rupiah, terjadinya gangguan likuiditas, turunnya cadangan devisa negara
serta timbulnya potensi capital
flight. Usaha sementara pemerintah untuk menanggulangi masalah ini di antaranya menaikkan tingkat suku
bunga simpanan, meningkatkan limit penjaminan
simpanan, pembelian kembali oleh BUMN kuat, dan lain-lain. Namun kebijakan-kebijakan pemerintah ini hanya
bersifat situasional dan belum konseptual.
Krisis ekonomi global ini juga tidak terlepas dari
krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia dan negara-negara Asia lainnya
pada tahun 1997-1998. Sebagaimana diungkapkan oleh Baird (2000) bahwa salah satu
akar penyebab timbulnya krisis ini adalah buruknya pelaksanaan tata
kelola perusahaan (corporate governance) di hampir seluruh perusahaan
baik BUMN maupun perusahaan swasta. Untuk itu, salah satu langkah penting
dalam menghadapi krisis ekonomi adalah memperbaiki implementasi corporate
governance, sehingga setidaknya mekanisme ini dapat dijadikan suatu kekuatan
internal untuk mengurangi efek krisis eksternal. Pada tahun 2006 Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
mengeluarkan dan menyempurnakan Pedoman Good Corporate
Governance, sehingga dapat dikatakan bahwa
sampai saat ini penerapan dan penyempurnaan corporate governance
pada perusahaan-perusahaan di Indonesia relatif masih baru. Pada dasarnya corporate governance merupakan suatu
sistem yang dapat mengidentifikasi dan menyelaraskan semua kepentingan dalam
perusahaan, sehingga hak dan kewajiban masing-masing pemangku
kepentingan dapat terarah, terkendali dan berada pada jalurnya. Hal
ini berarti corporate governance dapat mengurangi biaya agensi
yang timbul dari hubungan antara prinsipal dan agen. Seperti
yang dikemukan dalam teori agensi Jensen dan Meckling (1976), konflik kepentingan
dan asimetri informasi antara prinsipal dan agen ini membuka jalan bagi manajer untuk melakukan manajemen laba.
Jatuhnya perusahaan kelas dunia seperti Enron,
Merck, WorldCom dalam waktu yang relatif singkat, bahkan
mendeklarasikan kebangkrutan justru setelah hasil audit keuangan
perusahaannya dinyatakan wajar tanpa syarat oleh kantor akuntan publik
yang kredibel dan profesional. Manajemen laba di Indonesia terkuak dari
deteksi adanya manipulasi laporan keuangan oleh PT. Lippo, Tbk., PT. Kimia
Farma, Tbk. Hal ini membuktikan implikasi manajemen laba yang begitu luas
baik di negara maju maupun Negara berkembang, sehingga hal ini mendorong
perhatian publik tentang keberadaan corporate governance. Dengan mekanisme corporate governance praktik manajemen
laba tersebut dapat diminimalkan sehingga manajer menyampaikan informasi
akuntansi yang berkualitas yang dapat menunjukkan kinerja perusahaan yang
sebenarnya dan pada akhirnya mekanisme corporate governance diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan pemegang saham dan mengakselerasi kinerja perusahaan.
Berdasarkan latar
belakang diatas, maka penelitian ini menguji tentang “Pengaruh Aplikasi Mekanisme Corporate Governance Terhadap Praktik Manajemen Laba dan Kinerja Perusahaan: Studi Pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek
Indonesia”. Dipilihnya perusahaan
publik sebagai obyek penelitian karena perusahaan publik yang merupakan
perusahaan yang memobilisasi dana dari masyarakat lebih memiliki pertanggung jawaban
secara hukum dan terikat pada peraturan pemerintah tentang tata
kelola perusahaan yang baik, sehingga diasumsikan bahwa tata kelola pada perusahaan
publik lebih baik daripada perusahaan non publik. Perusahaan manufaktur
dijadikan sebagai sampel penelitian dengan alasan adalah agar terdapat homogenitas dalam pengujian pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba dan kinerja perusahaan.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
masalah yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan masalah dalam
penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut:
1. Apakah aplikasi mekanisme corporate governance
berpengaruh terhadap praktik manajemen laba?
2. Apakah aplikasi mekanisme corporate governance
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan?
1.3 Tujuan
Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas,
penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.
Untuk menguji secara
empiris pengaruh aplikasi mekanisme corporate governance terhadap
praktik manajemen laba.
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh aplikasi mekanisme corporate governance terhadap
kinerja perusahaan.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi para praktisi,
para investor, para calon investor dan
pemerhati pasar modal dalam memberikan wawasan tentang praktik
manajemen laba dan mekanisme corporate governance serta sebagai bahan masukan dan pertimbangan dalam
menentukan rencana dan pengambilan keputusan investasi, bagi civitas akademisi dan peneliti lain
dalam menambah wawasan dan melengkapi
temuan-temuan empiris sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.
BAB II
TELAAH TEORITIS
DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1 Landasan
Teori
2.1.1
Teori Keagenan
Dalam teori keagenan Jensen dan Meckling
(1976), hubungan agensi (agency relationship) terjadi ketika pemilik perusahaan memperkerjakan
atau mengontrak agen (agent) yaitu manajer untuk memberikan jasanya
dan mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepadanya. Untuk
menunjukkan kinerja keuangan perusahaan sebagai pertanggungjawaban manajer
kepada pemegang saham, agen memberikan informasi keuangan dalam bentuk
laporan keuangan. Selain pihak intern, laporan keuangan juga penting bagi pihak
ekstern misalnya pemegang saham, investor potensial, kreditor, bursa efek, pemerintah,
karyawan, supplier, dan stakeholders lainnya.
Manajer sebagai pengelola perusahaan mempunyai
kontak langsung dan lebih mengetahui prospek dan peristiwa-peristiwa
signifikans dalam perusahaan dibandingkan dengan pemegang saham.
Keadaan ini menimbulkan asimetri informasi (asimetry information)
di antara keduanya, sehingga menyebabkan prinsipal berada dalam
kondisi dengan ketidakpastian paling besar.
Dalam asimetri informasi terjadi
ketidakseimbangan dalam perolehan informasi penyedia informasi (manajemen)
dengan pengguna informasi (pemegang saham). Menurut Scott (2009),
terdapat dua macam asimetri informasi yaitu:
1.
Adverse selection, yaitu manajer tidak menyampaikan informasi kepada pemegang
saham sehingga dapat mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan.
2.
Moral hazard, yaitu manajer melakukan tindakan tanpa
sepengetahuanpemegang saham yang melanggar kontrak dan secara etika atau norma tidak
layak dilakukan.
Ketidakseimbangan informasi antara pemilik
perusahaan dan manajer memicu manajer untuk menyampaikan informasi yang tidak
sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya. Hal ini didukung dengan
adanya konflik kepentingan (conflict of interest) di antara mereka.
Ada kemungkinan agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik
prinsipalnya (Jensen dan Meckling, 1976) yaitu dengan bertindak oportunis
untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Kondisi ini menyebabkan timbulnya masalah
agensi (agency problem) yang terwujud dalam pelaporan
keuangan yang menyesatkan oleh manajer kepada pemegang saham dan
stakeholder lainnya mengenai kinerja perusahaan. Perilaku manajer
ini dimanifestasikan dengan melakukan manajemen laba (earnings management).
2.1.2 Manajemen Laba
Dalam laporan keuangan, laba merupakan
parameter untuk mengukur kinerja perusahaan saat ini dan prospek keuangan perusahaan
di masa yang akan datang. Dalam penyusunannya, manajemen memiliki kelonggaran
dalam pemilihan alternatif pencatatan transaksi keuangan. Hal ini
memberi peluang bagi manajer untuk melakukan perekayaan laba (manajemen laba).
Rosenzweig dan Fischer (1994) mendefinisikan
manajemen laba sebagai “the
actions of manager that are intended to increase (decrease) current reported earnings of
the unit for which the manager is responsible without generating a corresponding
increase (decrease) in the long-term economic profitability of the unit” (Gumanti, 2000). Menurut Healy dan Wahlen (1999),
manajemen laba terjadi
ketika manajer menggunakan pertimbangan (judgment) dalam pelaporan keuangan
dan penyusunan transaksi untuk merubah laporan keuangan, dengan tujuan
untuk memanipulasi besaran (magnitude) laba kepada beberapa stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi
hasil perjanjian
(kontrak) yang tergantung pada angka-angka akuntansi yang
dilaporkan.
Menurut Scott (2009) terdapat beberapa faktor
yang merupakan motivator bagi
manajer melakukan manajemen laba, yaitu:
1.
Rencana bonus (bonus
scheme). Manajer akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya
dengan tujuan untuk memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.
2.
Kontrak hutang jangka
panjang (debt covenant). Semakin tinggi rasio hutang
terhadap ekuitas suatu perusahaan atau semakin dekat suatu
perusahaan terhadap waktu pelanggaran
perjanjian hutang, manajer akan cenderung untuk memilih metode akuntansi yang dapat
memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan dengan tujuan untu meminimalkan
kemungkinan perusahaan mengalami pelanggaran kontrak hutang.
3.
Motivasi politik
(political motivation). Perusahaan-perusahaan yang berskala
besar dan merupakan industri strategis cenderung untuk menurunkan
laba guna mengurangi tingkat visibilitasnya terutama saat
periode kemakmuran yang tinggi. Hal ini
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari
pemerintah. Motivasi ini juga dimiliki oleh perusahaan yang terbukti
melakukan pelanggaran terhadap regulasi antitrust dan
antimonopoli atau perusahaan yang mengalami damage award dalam mempengaruhi keputusan pengadilan.
4.
Motivasi perpajakan
(taxation motivation). Tujuan perusahaan mengurangi laba
yang dilaporkan adalah untuk dapat meminimalkan jumlah pajak yang harus
dibayar .
5.
Pergantian CEO (Chief
Executive Officer). CEO yang menjelang pension atau
masa kontraknya akan berakhir memiliki motivasi untuk melakukan strategi
memaksimalkan laba yang dilaporkan dengan tujuan untuk
meningkatkan nilai bonus yang akan
terima. Hal serupa juga akan dilakukan oleh manajer yang memiliki
kinerja yang buruk dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari pemecatan.
6.
Penawaran saham
perdana (initial public offering). Perusahaan yang akan melakukan
penawaran saham perdana akan berusaha memberikan sinyal yang
baik tentang nilai perusahaan kepada calon investor dengan meningkatkan
laba yang dipublikasikan dalam prospektus.
Ayres (1994) mengungkapkan bahwa ada tiga
faktor yang dapat dihubungkan dengan timbulnya praktik manajemen laba, yaitu
manajemen akrual (accruals management), penerapan kebijakan akuntansi
yang wajib (adoption of mandatory accounting changes), dan perubahan akuntansi secara sukarela (voluntary
accounting changes). Accruals management biasanya dihubungkan dengan
aktivitas yang dapat mempengaruhi aliran kas dan keuntungan yang merupakan
wewenang dari manajer (managers’ discretion). Hal ini dapat dilakukan
dengan cara mempercepat atau menunda pengakuan pendapatan (revenues),
mengklasifikasikan sebagai beban biaya (diamortisasi) atau tambahan investasi
(dikapitalisasi) atas suatu biaya dan perkiraan-perkiraan akuntansi lainnya.
Faktor yang kedua
berhubungan dengan keputusan manajer dalam menerapkan kebijakan
akuntansi yang wajib lebih awal atau menunda sepanjang hasil
penerapannya memberi manfaat baik bagi perusahaan maupun manajer.
Faktor ketiga berhubungan dengan upaya manajer
mengganti atau merubah suatu metode akuntansi tertentu dari banyaknya
metode yang dapat dipilih, tersedia dan diakui oleh badan
akuntansi yang ada, misalnya merubah metode penilaian persediaan
dari FIFO ke LIFO atau sebaliknya, merubah metode penyusutan aktiva
dari metode penyusutan garis lurus ke metode penyusutan dipercepat atau sebaliknya.
Praktik manajemen laba menimbulkan implikasi
kepada semua pihak baik pembuat maupun pengguna informasi keuangan. Manajer
menanggung implikasi terhadap kemungkinan kesulitan keuangan atau kebangkrutan
di masa depan. Investor kemungkinan akan kehilangan kesempatan memperoleh
return dan kehilangan modal yang telah ditanamnya. Kreditor akan
kehilangan kesempatan mendapat return dan memperoleh kembali dana yang
dipinjamkan kepada perusahaan. Pemerintah menanggung kehilangan kesempatan
memperoleh pendapatan melalui integritas dan kredibilitasnya
karena regulasinya mudah dipermainkan. Dan masyarakat harus menanggung
implikasi hancurnya perekonomian.
2.1.3 Corporate
Governance
Corporate governance merupakan konsep yang didasarkan teori agensi untuk
meminimalkan masalah keagenan yang terjadi antara prinsipal dan agen. Mekanismenya
memberikan pengendalian yang efektif untuk mengarahkan kegiatan operasional dan mengidentifikasi pihak-pihak yang memiliki kepentingan
yang berbeda dalam perusahaan, sehingga dapat memastikan atau meyakinkan
pemilik modal bahwa manajer melakukan tindakan terbaik demi kepentingan
perusahaan dengan memberikan pengembalian atau return atas investasi
yang ditanamnya (Shleifer dan Vishny, 1997). Dalam hal ini, corporate governance diharapkan
dapat mengurangi dorongan manajemen melakukan manajemen laba sehingga
kinerja perusahaan yang dilaporkan mencerminkan
keadaan ekonomi yang sebenarnya
(Shleifer dan Vishny, 1997).
Di Indonesia, pemerintah melalui Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) mengeluarkan pedoman
good corporate governance yang telah
disempurnakan pada tahun 2006.
Asas good corporate governance menurut
KNKG (2006) yaitu sebagai berikut:
1.
Transparansi (transparency).
Perusahaan harus menyediakan informasi material
dan relevan yang mudah diakses dan dapat dipahami oleh pemangku kepentingan
dan mengungkapkan masalah dan hal penting untuk pengambilan
keputusan.
2.
Akuntabilitas
(accountability).
Perusahaan harus dapat
mempertanggungjawabkan kinerjanya yang berkesinambungan kepada
pemangku kepentingan. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara
benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perusahaan.
3.
Responsibilitas
(responsibility).
Perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan
mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4.
Independensi
(independency).
Perusahaan harus dikelola
secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak
saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.
Kewajaran dan
kesetaraan (fairness).
Perusahaan harus senantiasa memperhatikan
kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas
kewajaran dan kesetaraan.
Penerapan mekanisme corporate governance
dapat meminimalisasi praktik manajemen laba yang bertujuan untuk menyelaraskan
kepentingan antara manajemen dengan pemegang saham dan stakeholder
lainnya. Pada akhirnya, menurut The Dey Report (1994) dalam Siallagan dan
Machfoedz (2006) mengemukakan bahwa corporate governance yang efektif
dalam jangka panjang dapat meningkatkan kinerja perusahaan dan menguntungkan
pemegang saham.
Mekanisme corporate governance tersebut
antara lain dapat dilakukan melalui proporsi kepemilikan saham tertentu oleh
institusi dan manajer, peran komisaris independen dan komite
audit.
2.1.3.1
Kepemilikan Institusional
Pemisahan pengelolaan
perusahaan dari kepemilikan merupakan salah satu ciri perekonomian
modern. Menurut teori agensi (Jensen & Meckling, 1976), pemilik
perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada tenaga profesional
(agen) yang lebih mengetahui dalam menjalankan bisnis. Tujuannya yaitu
agar pemilik memperoleh keuntungan maksimal dengan biaya yang efisien.
Teori keagenan mengemukakan jika antara pihak
prinsipal (pemilik) dan agen (manajer) memiliki kepentingan yang
berbeda, maka akan timbul konflik yang disebut masalah
keagenan (agency problem).















Beberapa studi menunjukkan bahwa terdapat dua
agency problem potensial yang berkaitan dengan kepemilikan, yaitu
agency problem antara manajemen dan pemegang saham (Jensen dan
Meckling, 1976) dan agency problem antara pemegang saham mayoritas dan minoritas (Shleifer dan Vishny, 1997).
Agency problem yang pertama terjadi jika kepemilikan tersebar di tangan banyak
pemegang saham sehingga tidak satu pihak pun yang dapat atau yang mau mengontrol
manajemen, sehingga manajemen relatif tanpa kontrol dalam menjalankan
perusahaan sehingga perusahaan dikelola sesuai dengan keinginan manajemen
sendiri. Agency poblem yang kedua menyebabkan pemegang saham mayoritas
memiliki kendali absolut sehingga dapat melakukan tindakan yang menguntungkan
diri sendiri dan merugikan pemegang saham minoritas.
Mekanisme corporate governance melalui
kepemilikan institusional mempunyai kemampuan untuk mengendalikan
manajemen dengan memonitor secara efektif perilaku manajer sehingga
meminimalkan tindakan manajemen


















laba.
Investor institusional yang besar memiliki peluang, sumber dan kemampuan untuk
memonitor, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer (Cornett et al., 2006).
Semakin tinggi kepemilikan institusional dalam perusahaan diharapkan semakin
kecil manajemen laba yang terjadi.




















Di samping itu, investor institusional dianggap
sebagai investor yang canggih, sehingga lebih dapat menggunakan informasi laba
periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor noninstitusional
(Siregar & Utama, 2005). Semakin tinggi kepemilikaninstitusional dalam
perusahaan semakin meningkatkan kinerja perusahaan.
2.1.3.2 Kepemilikan Manajerial
Selain kepemilikan
institusional, mekanisme yang dapat mengatasi masalah keagenan adalah
dengan meningkatkan proporsi kepemilikan manajerial (Jensen
& Meckling, 1976). Dengan mengakselerasi kepemilikan manajerial, diharapkan
manajer dapat akan termotivasi untuk bertindak sesuai dengan kepentingan
pemegang saham yang juga dirinya sendiri. Definisi kepemilikan manajerial
adalah terdapatnya anggota dewan direksi dan dewan komisaris yang memiliki
saham pada perusahaan tempat mereka mengelola dan mengawasi perusahaan
yang bersangkutan.
Dalam pengelolaan perusahaan, motivasi yang berbeda antara manajer yang
sekaligus sebagai pemegang saham (owners-manager) dan manajer yang tidak
sebagai pemegang saham (nonowners-manager) akan mempengaruhi perilaku
manajemen laba. Oleh karena itu mekanisme corporate governance melalui
kepemilikan manajerial yang tinggi dapat menekan kemungkinan perilaku manajer
dalam melakukan earnings management, dan sebaliknya.
Di samping itu, kepemilikan manajerial yang
dapat meyelaraskan kepentingan antara prinsipal dan agen, akan meningkatkan
kesejahteraan pemegang saham yang juga dirinya sendiri, sehingga akan
menaikkan kinerja perusahaan. Semakin tinggi proporsi kepemilikan manajerial,
semakin tinggi pula kinerja perusahaan yang akan dicapai.
2.1.3.3 Komisaris Independen
Kepengurusan perusahaan di Indonesia menganut
sistem dua badan (two board system) yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Kedua dewan ini mempunyai
wewenang dan tanggung jawab yang jelas sesuai dengan fungsinya masing-masing
sebagaimana dicantumkan dalam anggaran dasar dan peraturan perundang-undangan.
Dewan komisaris dan dewan direksi juga
mempunyai tanggung jawab untuk memelihara kesinambungan usaha
perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas tugas dewan komisaris adalah melakukan pengawasan atas
kebijakan dan jalannya pengurusan, dan memberikan nasihat kepada direktur untuk
kepentingan perusahaan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan.
Menurut konsep good corporate governance, perusahaan akan memperoleh
nilai perusahaan (value of the firm) yang maksimal apabila fungsi dan
tugas masing-masing pelaku organisasi bisnis modern dapat dipisahkan. Salah satunya
adalah dengan membentuk dewan komisaris. Di Indonesia dewan komisaris
ditunjuk dan diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan harus
melalui proses yang transparan. Untuk melaksanakan tugas dan kewenangannya
dewan komisaris harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan
mempertahankan independensi dan keprofesionalannya. Selain mengawasi dan
memberikan saran kepada direktur, fungsi lain dari dewan komisaris adalah membentuk
komite khusus seperti komite audit, komite nominasi dan remunerasi, komite
kebijakan resiko dan komite kebijakan corporate governance.
Komposisi dewan komisaris harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang
efektif, tepat dan cepat. Dewan komisaris harus terdiri dari
anggota-anggota yang dapat bertindak secara bebas dan tidak memiliki kepentingan tertentu yang dapat mempengarui kemampuannya dalam menjalankan tugas. Dewan komisaris harus
independen dan kritis
dalam hubungannya dengan sesama anggota dewan komisaris dan dewan
direksi. Selain itu, dewan komisaris juga harus memonitor efektifitas dari pelaksanaan
dan penerapan corporate governance dan melakukan perubahan jika diperlukan.
Dewan komisaris tidak berasal dari pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan
pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain, perusahaan
itu sendiri, mantan anggota direksi serta karyawan perusahaan. Dewan
komisaris independen ini harus bebas dari pengaruh dewan direksi dan
pemegang saham pengendali, Oleh karena itu pemilihan komisaris independen harus memperhatikan pendapat pemegang saham minoritas yang dapat
disalurkan melalui komite nominasi dan remunerasi, sehingga dapat
memberikan perlindungan
yang nyata bagi kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
minoritas. Menurut Surat Edaran Bapepam Nomor SE.03/PM/2000 dan
Peraturan Pencatatan Efek Nomor 339/BEJ/07-2001 tanggal 21 Juli 2001, perusahaan
publik yang tercatat di bursa wajib memiliki jumlah anggota dewan komisaris
yang memenuhi kualifikasi sekurang-kurangnya 30% dari seluruh jumlah
anggota komisaris perusahaan.
Dunn (1987) dalam Cornett et al. (2006)
menyatakan dewan komisaris yang didominasi oleh outsiders
lebih baik dalam memonitor dan mengontrol manajer. Dewan komisaris yang terdiri dari anggota yang berasal dari
luar perusahaan (komisaris independen) memberikan kontribusi secara efektif terhadap
kecenderungan praktek manajemen laba. Selain itu, menurut Fama dan Jensen
(1983), non-executive director (komisaris independen) dapat bertindak sebagai
mediator dalam perselisihan yang terjadi antarmanajer internal, sebagai pengawas
kebijakan manajer dan pemberi saran kepada manajer.
Dewan komisaris independen dalam fungsinya
sebagai pengawas, juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban pengawasan atas
pengelolaan perusahaan direksi. Untuk itu peranan komisaris independen
terhadap tanggung jawab manajemen dalam meningkatkan kesejahteraan pemegang
saham dan kinerja
perusahaan sangat diperlukan. Oleh karena itu, semakin banyak jumlah komisaris
independen, semakin rendah pengelolaan laba yang dilakukan manajer dan
diharapkan semakin meningkatkan kinerja perusahaan.
2.1.3.4 Komite Audit
Keberadaan komite audit pada saat ini telah
diterima sebagai suatu bagian dari tata kelola organisasi perusahaan
yang baik (good corporate governance). Komite audit perusahaan
publik dibentuk dan bertugas membantu dewan komisaris. Tugas komite
audit antara lain adalah memastikan bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum,
struktur pengendalian internal perusahaan dilaksanakan dengan baik, pelaksanaan
audit internal maupun eksternal dilaksanakan sesuai dengan standar audit
yang berlaku, dan tindak lanjut temuan hasil audit dilaksanakan oleh manajemen.
Komite audit harus bertanggung jawab kepada dewan komisaris.
Berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam Nomor
KEP-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004 perihal keanggotaan komite audit,
disebutkan bahwa jumlah anggota
komite audit sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang, termasuk ketua komite audit.
Jumlah anggota komite audit harus disesuaikan dengan kompleksitas perusahaan
dengan tetap memperhatikan efektifitas dalam pengambilan keputusan.
Komite audit diketuai oleh komisaris independen dan anggotanya dapat
terdiri dari komisaris dan atau pelaku profesi. Salah seorang anggota memiliki
latar belakang dan kemampuan akuntasi dan atau keuangan. Anggota komite
audit harus berasal dari pihak eksternal yang independen. Yang dimaksud eksternal
adalah pihak di luar perusahaan yang bukan merupakan komisaris, direksi
dan karyawan. Independen berarti tidak memiliki hubungan usaha dan hubungan
afiliasi dengan perusahaan, komisaris, direksi dan pemegang saham utama
serta mampu memberikan pendapat profesional secara bebas sesuai dengan etika
profesionalnya dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.
Sommer (1991) berpandangan bahwa komite audit
di banyak perusahaan masih
belum melakukan tugasnya dengan baik. Banyak komite audit yang hanya sekedar
melakukan tugas-tugas rutin, seperti review laporan dan seleksi auditor eksternal,
dan tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara mendalam
kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab dari
manajemen. Penyebabnya disinyalir bukan
saja kurangnya kompetensi dan independensi yang memadai, tetapi juga karena komite audit
kurang memahami peran pokoknya. Kalbers & Fogarty (1993) telah
melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas komite audit. Hasil penelitian yang
dimuat di Auditing A Journal of
Practice & Theory berjudul “Audit Committee Effectiveness:
An Empirical Investigation of the Contribution of Power”, antara lain
mengungkapkan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang dominan yang berpengaruh
terhadap keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya, yaitu
:
1. Kewenangan formal dan tertulis bagi komite audit.
2.
Kerjasama manajemen.
3.
Kualitas (kompetensi) personil dari komite audit.
Salah satu aspek yang cukup penting dalam
keberhasilan komite audit dalam menjalankan tugasnya adalah masalah
komunikasi. Komite audit harus meningkatkan komunikasi
dengan dewan komisaris, manajemen, auditor internal dan eksternal. Adanya
komunikasi yang lancar antara komite audit dengan berbagai pihak
tersebut dapat menunjukkan eksistensi komite audit lebih efektif dan
dapat meringankan tugas komisaris dalam mengawasi jalannya
perusahaan.
Tanggung jawab komite audit dalam memberikan kepastian
seperti disebut di atas merupakan mekanisme corporate governance
agar perusahaan tunduk pada undang-undang dan peraturan yang berlaku dan untuk
mempertahankan kontrol yang efektif terhadap benturan kepentingan dan
manipulasi terhadap perusahaan. Waterhouse (1980) dan McMullen (1996) dalam
Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan bahwa investor, analis, dan
regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi integritas dan
kredibilitas dalam kualitas laporan keuangan, sehingga dapat
mengurangi pengukuran dan pengungkapan akuntansi tidak tepat
dan mengurangi tindakan kecurangan manajer dan tindakan ilegal. Oleh
karena itu semakin besar ukuran audit semakin kecil manajemen
laba yang terjadi, dan semakin tinggi kinerja perusahaan.
2.1.4 Kinerja
Perusahaan
Nilai perusahaan mencerminkan kinerja keuangan
fundamental perusahaan yang diukur dari laporan keuangan. Dalam
laporan keuangan tercermin nilai-nilai perusahaan yang bermanfaat
bagi pemegang saham dan manajer
dalam mengambil keputusan.
Salah satu ukuran kinerja perusahaan adalah ROA
(return on assets). ROA diperoleh dari pembagian antara laba
bersih (net income) dengan total aktiva (total asets).
Hasil dari pembagian ini menunjukkan kemampuan aktiva
perusahaan dalam memperoleh laba
bersih. Hal ini menunjukkan efektifitas perusahaan dalam mengubah dananya untuk memperoleh laba
bersih. Semakin besar nilai
ROA, semakin baik perusahaan mengelola investasinya menjadi keuntungan.
ROA memcerminkan peran manajer untuk membuat
pilihan yang bijaksana dalam mengalokasikan sumber dayanya. Dalam hal
ini, manajer harus dapat
mengakselerasi profit yang tinggi dari investasi yang sedikit mungkin.
2.2.
Penelitian Terdahulu
Diperlukan suatu mekanisme yang dapat membatasi praktik manajemen
laba ini. Corporate governance merupakan konsep yang dapat memberikan
pengawasan dalam mengurangi praktik earnings management.
Beberapa mekanisme corporate governance
ini diindikasikan antara lain dengan kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, peran komisaris independen dan komite audit.
Prosentase jumlah saham tertentu milik
institusi dari seluruh jumlah saham perusahaan dapat mempengaruhi proses
penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan
manajemen.
Hubungan negatif antara
kepemilikan institusional dengan pengelolaan laba ini dibuktikan
oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), dan Midiastuty
dan Machfoedz (2003), Cornett et al. (2006). Dalam Cornett et al. (2006),
penelitian McConnell dan Servaes (1990), Nesbitt (1994), Smith (1996), Del
Guercio dan Hawkins (1999), dan Hartzell dan Starks (2003) menemukan bukti
bahwa monitoring yang dilakukan oleh korporasi dapat membatasi perilaku manajer.
Namun Ujiyantho dan Pramuka (2007) menemukan kepemilikan institusional
tidak berpengaruh secara signifikans terhadap earnings management.
Dengan proporsi kepemilikan manajemen dalam
perusahaan, seorang manajer akan berupaya lebih kuat untuk memenuhi kepentingan
pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri, sehingga kepemilikan
manajerial dapat berpengaruh secara negatif terhadap tindakan manajemen
laba. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein
(2006), Bowen et al. (2003), dan Midiastuty dan Mahfoedz
(2003).
Perusahaan yang memiliki dewan komisaris yang
berasal dari luar perusahaan (outside directors) dapat berpengaruh
secara negatif terhadap tindakan manajemen laba. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Dechow et al. (1996),Jeanjean (2000), Chtourou et
al. (2001), Klein (2006), Xie et al. (2003), Cornett etal.
(2006).
Chtourou et al. (2001) membuktikan bahwa
earnings management berhubungan secara negatif dengan
proporsi anggota komite audit yang bukan merupakan manajer di
perusahaan lain. Hasil penelitian Xie et al. (2003) menyimpulkan
bahwa dewan dan aktifitas komite audit dan kecanggihan anggota finansialnya
merupakan faktor yang penting dalam membatasi earnings management.
Efek mekanisme corporate governance
terhadap kinerja perusahaan diteliti oleh Cornett et al.
(2006) dan menghasilkan temuan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaaan. Temuan yang
sama juga dibuktikan oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999) menyimpulkan
kepemilikan institusional meningkatkan nilai perusahaan. Bhagat dan
Bolton (2007) menyimpulkan terdapat pengaruh positif yang signifikansantara
kepemilikan manajerial terhadap kinerja operasional.
Gompers et al. (2003) menemukan bahwa
perusahaan yang memiliki hak kepemilikan saham yang kuat mempunyai
kinerja perusahaan yang lebih tinggi. Demikian pula, Larcker
et al. (2005) menyimpulkan bahwa kepemilikan saham dan
karakteristik dewan komisaris dan direksi berhubungan dengan kinerja operasional
perusahaan. Bukti empiris ini dibuktikan kembali dengan proksi kinerja
perusahaan yang lain oleh penelitian Larcker et al. (2007).
Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan
bahwa mekanisme corporate governance
secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan, yaitu
kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris
dan komite audit berpengaruh positif.
Namun, Bauer et al. (2003) menemukan
hubungan yang negatif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diproksikan dengan net
profit margin (NPM) dan return on equity (ROE). Di lain pihak,
Beiner et al. (2003) bahkan tidak menemukan pengaruh yang signifikans antara
kepemilikan manajerial dan komisaris independen terhadap nilai
perusahaan.
2.3. Pengembangan
Hipotesis
Laporan keuangan merupakan sumber informasi sebagai pertanggungjawaban
manajemen. Hal ini tidak terlepas dari motivasi manajemen
dalam penyusunannya. Manajemen dapat
memilih metode dan mengatur transaksi akuntansi untuk
mempengaruhi besaran laba yang dilaporkan. Hal ini membuka
jalan bagi manajer untuk melakukan
pengelolaan laba. Untuk membatasi praktik manajemen laba ini
dibutuhkan suatu mekanisme tata kelola perusahaan (corporate
governance) yang baik.
Pengaruh negatif
kepemilikan institusional terhadap pengelolaan laba dibuktikan
oleh hasil penelitian Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998), dan Midiastuty
dan Machfoedz (2003), Cornett et al. (2006). Hal ini berarti bahwa monitoring yang dilakukan oleh korporasi dapat membatasi perilaku
manajer.
Mekanisme corporate governance melalui
kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi
tindakan manajemen laba secara negatif. Temuan ini dibuktikan dari hasil
penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003),
dan Midiastuty dan Mahfoedz (2003).
Hasil penelitian Dechow et al. (1996),
Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein
(2006), Xie et al. (2003), Cornett et al. (2006) membuktikan
bahwa komisaris independen merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap praktik manajemen laba. Mekanisme corporate governance ini
berpengaruh secara negatif terhadap tindakan pengelolaan
laba.
Chtourou et al. (2001) membuktikan bahwa
earnings management berhubungan secara negatif dengan
proporsi anggota komite audit yang bukan merupakan manajer di
perusahaan lain. Hasil penelitian Xie et al. (2003) menyimpulkan
bahwa dewan dan aktifitas komite audit dan kecanggihan anggota finansialnya
merupakan faktor yang penting dalam membatasi earnings management.
Mekanisme corporate governance dapat disumsikan mempunyai pengaruh
terhadap praktik manajemen laba, sehingga penelitian
ini ingin menguji:
H1:
Mekanisme corporate governance melalui
kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris
independen dan komite audit berpengaruh terhadap praktik manajemen
laba.
Mekanisme corporate
governance diharapkan dapat menyelaraskan kepentingan antara
pemegang saham dan manajemen. Pemegang saham dapat memperoleh
return atas investasi yang ditanamkan pada perusahaan. Manajer dapat
memperoleh kompensasi dan insentif sebagai pertanggungjawabannya sebagai
agen. Penyelarasan kepentingan antara prinsipal dan agen ini tercermin pada kinerja
perusahaan yang dilaporkan.
Efek positif mekanisme
corporate governance terhadap kinerja perusahaan dibuktikan
oleh Cornett et al. (2006). Temuan ini didukung pula oleh hasil penelitian
Rajgopal et al. (1999) yang menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional
meningkatkan nilai perusahaan. Pengaruh positif yang signifikans antara
kepemilikan manajerial terhadap kinerja operasional dibuktikan oleh Bhagat
dan Bolton (2007).
Gompers et al. (2003)
menemukan bahwa perusahaan yang memiliki hak
kepemilikan saham yang kuat mempunyai
kinerja perusahaan yang lebih tinggi. Demikian pula, Larcker
et al. (2005) menyimpulkan bahwa kepemilikan saham
dan karakteristik dewan komisaris dan
direksi berhubungan dengan kinerja operasional perusahaan. Bukti empiris ini dibuktikan
kembali dengan proksi kinerja perusahaan yang lain oleh penelitian Larcker et
al. (2007). Siallagan dan Machfoedz (2006) membuktikan bahwa
mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh
terhadap nilai perusahaan, yaitu kepemilikan manajerial memiliki
pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris dan komite audit berpengaruh
positif.
Dengan demikian, mekanisme
corporate governnace berimplikasi pada nilai perusahaan. Untuk
itu, hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah ingin menguji:
H2:
Mekanisme corporate governance melalui
kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komisaris independen dan komite audit berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Populasi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan
populasi perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia (BEI). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan data
pooling. Data yang digunakan adalah data archival, yaitu data
sekunder berupa annual report untuk memperoleh informasi laporan keuangan,
kepemilikan saham oleh institusi, kepemilikan saham oleh manajemen, jumlah
anggota komisaris independen dan jumlah personal dalam komite audit. Data
diperoleh dari BEI, Bapepam, buku ICMD (Indonesian Capital Market Directory), dan internet.
Metode purposive sampling
digunakan untuk memperoleh sampel dengan kriteria sebagai
berikut:
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) dari tahun 2006-2009.
2. Perusahaan yang
mempublikasikan laporan keuangan dengan menggunakan
tahun buku yang berakhir pada 31 Desember. Hal ini dilakukan
untuk peningkatan komparabilitas atau daya banding sampel.
3. Perusahaan yang dijadikan sampel memiliki data kepemilikan
saham institusi dan manajerial, jumlah anggota komisaris
independen dan jumlah personal dalam komite audit.
3.2 Definisi Konseptual
3.2.1 Manajemen Laba
Asimetri informasi dan konflik
kepentingan dalam hubungan keagenan antara prinsipal dan agen membuka jalan
bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Menurut Healy dan Wahlen
(1999), manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan
(judgment) dalam pelaporan keuangan dengan tujuan untuk mempengaruhi
besaran (magnitude) laba.
Ayres (1994) mengungkapkan bahwa
manajemen laba dapat dilakukan melalui manajemen akrual (accruals
management), penerapan kebijakan akuntansi yang wajib (adoption of
mandatory accounting changes), dan perubahan akuntansi
secara sukarela (voluntary accounting changes). Accruals management biasanya berhubungan dengan tindakan yang dapat
mempengaruhi aliran kas dan laba yang merupakan wewenang dari manajer
(managers’discretion). Hal ini dapat dilakukan dengan cara mempercepat
atau menunda pengakuan pendapatan (revenues), mengklasifikasikan sebagai
beban biaya (diamortisasi) atau tambahan investasi (dikapitalisasi)
atas suatu biaya dan perkiraan-perkiraan akuntansi lainnya.
Praktik manajemen laba
menimbulkan implikasi kepada semua pihak baik pembuat maupun pengguna
informasi keuangan, baik manajer, investor, kreditor, pemerintah,
regulator maupun masyarakat. Oleh karena itu, praktik earnings management perlu dibatasi dengan penerapan mekanisme corporate
governance.
3.2.2 Corporate Governance
Investor institusional yang
besar memiliki peluang, sumber dan kemampuan untuk memonitor, mendisiplinkan
dan mempengaruhi manajer (Cornett et al., 2006). Hal ini disebabkan oleh
investor institusional sebagai investor yang canggih lebih dapat
menggunakan informasi laba periode sekarang dalam memprediksi laba masa depan dibandingkan dengan investor noninstitusional
(Siregar & Utama, 2005).
Kepemilikan manajerial yang
rendah akan meningkatkan kemungkinan perilaku manajer dalam melakukan
earnings management, dan sebaliknya. Dengan proporsi kepemilikan
manajemen, seorang manajer akan berupaya lebih kuat untuk memenuhi
kepentingan pemegang saham yang juga adalah dirinya sendiri,
sehingga kepemilikan manajerial dapat mempengaruhi tindakan manajemen
laba dilakukan melalui fungsi pengawasan terhadap manajemen
perusahaan. Dunn (1987) dalam Cornett et al. (2006) menyatakan dewan
komisaris yang didominasi oleh outsiders lebih baik dalam
memonitor dan mengontrol manajer. Karena itu,
komisaris independen memberikan kontribusi secara efektif terhadap kecenderungan
praktik manajemen laba.
Waterhouse (1980) dan McMullen
(1996) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006) menyatakan bahwa investor, analis, dan
regulator menganggap komite audit memberikan kontribusi integritas
dan kredibilitas dalam kualitas laporan keuangan, sehingga dapat mengurangi
pengukuran dan pengungkapan akuntansi yang tidak tepat dan mengurangi
tindakan kecurangan manajer dan tindakan ilegal.
Dalam jangka panjang, menurut
The Dey Report (1994) dalam Siallagan dan Machfoedz (2006)
mengemukakan bahwa corporate governance yang efektif dalam jangka panjang dapat miningkatkan kinerja perusahaan dan menguntungkan
pemegang saham.
3.2.3 Kinerja Perusahaan
Kinerja perusahaan dapat diukur
dari pelaporan informasi akuntansi melalui laporan keuangan yang bermanfaat
bagi pemegang saham dan manajer dalam mengambil keputusan. Salah satu ukuran kinerja
perusahaan adalah ROA (return on assets). ROA menunjukkan efektifitas
perusahaan dalam mengubah dananya untuk memperoleh laba bersih.
Semakin besar nilai ROA, semakin baik perusahaan mengelola
investasinya menjadi keuntungan.
Siallagan dan Machfoedz (2006)
membuktikan bahwa mekanisme corporate governance secara statistik berpengaruh terhadap nilai perusahaan, yaitu
kepemilikan manajerial memiliki pengaruh negatif sedangkan dewan komisaris
dan komite audit berpengaruh positif. Cornett et al. (2006) memberikan bukti
empiris bahwa mekanisme corporate governance berhubungan positif dengan
kinerja perusahaan. Penelitian Bowen et. al. (2003) memberikan hasil sebaliknya.
Mereka gagal menemukan hubungan negatif antara manajemen laba dengan
tata kelola dan kinerja perusahaan.
Berdasarkan kerangka konseptual
tersebut di atas, kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat
ditunjukkan pada Gambar 3.1 sebagai berikut:
![]() |
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian


3.3.1 Variabel Dependen
Hipotesis pertama menggunakan
variabel dependen earnings management. Dalam
penelitian ini, earning management diproksikan dengan discretionary accruals (DACC) yang dihitung dengan The Modified Jones Model.
Model ini dianggap sebagai model yang paling baik jika dibandingkan
dengan model lain dalam mendeteksi manajemen laba serta memberikan hasil yang
paling kuat (Dechow et al., 1995).
Penelitian ini menggunakan prosedur penelitian Whelan dan
McNamara (2004) yang menghitung total akrual sebagai selisih antara laba bersih
sebelum pos luar biasa dengan aliran kas operasi.
TACCit = NIit - CFOit ........ (1)
Keterangan:
TACCit
: total accruals perusahaan i pada tahun pelaporan t
NIit : laba
bersih sebelum pos luar biasa (net operating income) perusahaan i pada tahun t
CFOit : aliran kas dari operasi (operating cash flow) perusahaan i pada
tahun t
Menghitung nilai Non Discretionary Accrual sesuai dengan rumus yang ada, untuk
mendapatkan koefisien masing-masing variabel dengan terlebih dahulu pengolahan
data dilakukan dengan meregresikan persamaan model Jones dengan menggunakan Ordinary
Least Square (OLS), terhadap variabel-variabel (1/ TAit-), (ΔREVit / TAit-1), dan (PPEit/ TAit-1) ke
variabel TACCit / TAit-1, sehingga diperoleh persamaan berikut
ini:

Keterangan:
TAit-1 : Total aktiva perusahaan
i pada tahun t-1.
ΔREVit : Pendapatan bersih
perusahaan i pada tahun t dikurangi
pendapatan perusahaan i tahun t-1.
PPEit : Nilai bruto aktiva tetap (gross
property, plant and equipment) tahun
t.
TACCit : total accruals perusahaan i pada tahun pelaporan t

Keterangan:
β1, β 2, β 3 : Koefisien dari variabel independen.
TAit-1 : Total aktiva perusahaan i pada tahun t-1.
ΔREVit :
Pendapatan
bersih perusahaan i tahun t dikurangi pendapatan tahun t-1
ΔREGit : Piutang bersih
perusahaan i tahun t dikurangi piutang bersih tahun t-1
PPEit : Nilai bruto aktiva tetap (gross property, plant and equipment)
perusahaan i tahun t.
NDACCit : non discretionary accruals
perusahaan i pada tahun t.

Keterangan:
DACCit : discretionary accruals perusahaan i pada
tahun t.
TACCit :
total accruals perusahaan i pada
periode tahun t.
TAit-1 : Total aktiva perusahaan
i pada periode t-1.
NDACCit : non discretionary accruals perusahaan i
pada tahun t.

Keterangan:
ROA : Return On Assets.
NI :
Laba bersih (Net Income ).
TA :
Total aktiva
3.3.2 Variabel
Independen
Dalam penelitian ini, hipotesis
pertama dan kedua menggunakan mekanisme corporate governance
adalah variabel bebas dengan indikator sebagai berikut:
1.
Kepemilikan institusi
(KPLKINST).
Variabel ini dihitung dari proporsi banyaknya saham yang
berjumlah di atas 5 (lima) persen yang dimiliki oleh institusi dari total
saham yang beredar.
2.
Kepemilikan manajerial
(KPLKMNJR).
Pengukuran kepemilikan manajerial dilakukan dengan ada
tidaknya komisaris dan direksi yang memiliki saham pada perusahaan
tempat mereka menjabat.
Dalam penelitian ini, digunakan variabel dummy, bila tidak
terdapat proporsi kepemilikan saham oleh pihak manajerial maka diberi
nilai 0 (nol) dan jika terdapat proporsi kepemilikan saham oleh pihak
manajerial diberi nilai 1 (satu).
3.
Prosentase anggota
komisaris independen dalam dewan komisaris (KOMSINDP).
Proksi ini diukur dengan perbandingan antara jumlah anggota
komisaris independen dengan jumlah seluruh anggota dewan komisaris
dalam suatu perusahaan.
4.
Ukuran personal komite
audit (UKRNAUDT).
Sesuai dengan Pedoman Good Corporate Governance
Indonesia jumlah personal komite audit adalah 3 (tiga) orang. Dalam
penelitian ini digunakan variabel dummy, jika jumlah personal
komite audit adalah 3 (tiga) orang atau lebih maka diberi angka 1 (satu). Jika
jumlahnya kurang dari 3 (tiga) orang maka diberi angka 0 (nol).
3.4 Model Penelitian
Model empiris yang digunakan
dalam penelitian ini ditunjukkan dengan persamaan sebagai berikut:
![]() |
Keterangan:
DACC =
Discretionary accruals.
KPLKINST =
Kepemilikan institusional.
KPLKMNJR=
Kepemilikan manajerial.
KOMSINDP=
Komisaris independen.
UKRNAUDT=
Ukuran komite audit.
ROA=
Return on assets.
λ0,
µ0= Konstanta.
λ1,
λ2, λ3, λ4, µ1, µ2, µ3, µ4= Koefisien regresi.
3.5 Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif untuk
memperoleh nilai rata-rata, minimum, maksimum dan deviasi standar
dari variabel-variabel yang diteliti. Pengujian hipotesis pertama, yaitu pengaruh
mekanisme corporate governance terhadap manajemen laba dan hipotesis
kedua, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kinerja
perusahaan menggunakan multiple regression analysis dengan SPSS 11.5.
Agar memenuhi sifat estimasi
regresi yang bersifat BLUES (Best Linear Unbiased
Estimator), uji asumsi klasik yaitu uji
normality, autokorelasi, multicollinearity dan heteroskedastisitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan
uji regresi linier berganda.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Pengujian Hipotesis
Dalam penelitian ini, sampel
yang digunakan untuk pengujian hipotesis sebanyak 17 perusahaan
manufaktur dari tahun 2006-2009 sehingga diperoleh 68 data
observasi. Daftar perusahaan manufaktur yang dijadikan sampel tersebut dilampirkan
dalam Lampiran 1.
4.1.1 Hasil Uji
Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif merupakan
uraian tentang data sampel yang digunakan dalam penelitian. Dalam
statistik deskriptif diuraikan mengenai nilai minimum, maksimum,
rerata, dan deviasi standar dari variabel-variabel penelitian.
Berdasarkan Lampiran 2,
statistik deskriptif untuk masing-masing variabel penelitian
disajikan kembali dalam Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1
Hasil Uji Statistik Deskriptif
Variabel
|
Nilai Minimum
|
Nilai Maksimum
|
Rerata
|
Deviasi Standar
|
Discretionery
Accruals
|
-5,2332
|
0,5927
|
-0,340824
|
0,9261680
|
Return on
Assets
|
-0,0718
|
0,1753
|
0,052297
|
0,0590671
|
Kepemilikan
Institusional
|
0,0000
|
0,9974
|
0,639035
|
0,2437299
|
Kepemilikan
Manajerial
|
0,0000
|
1,0000
|
0,573529
|
0,4982410
|
Komisaris
Independen
|
0,0000
|
0,5556
|
0,344794
|
0,1098100
|
Ukuran Audit
|
0,0000
|
1,0000
|
0,926471
|
0,2629441
|
Sumber: Hasil Olah data sekunder.
Berdasarkan Tabel 1, 68 (enam
puluh delapan) sampel penelitian melakukan decreasing income dengan
rerata discretionery accruals sebesar
0,340824 yang ditunjukkan dengan tanda
negatif pada hasil mean-nya sedangkan deviasi standar sebesar
0,9261680, nilai minimum dan maksimum masing-masing sebesar
-5,2332 dan 0,5927. Rerata ROA adalah sebesar 0,052297, simpangan baku
0,0590671, nilai minimum -0,0718 dan nilai maksimum 0,1753.
Variabel mekanisme corporate
governance yang diproksikan dengan kepemilikan instituisional
(KPLKINST) memiliki rerata 0,639035, deviasi standar
0,2437299, nilai minimum 0 dan nilai
maksimum 0,9974. Hal ini menunjukkan 64% kepemilikan saham perusahaan sampel
adalah perusahaan atau institusi.
Rerata kepemilikan manajerial
(KPLKMNJR) adalah sebesar 0,573529 dengan simpangan baku
0,4982410, nilai minimum 0 dan nilai maksimum 1. Ini berarti 57%
perusahaan sampel mempunyai kepemilikan saham oleh manajer dan komisaris.
Proksi mekanisme corporate
governance berikutnya adalah jumlah komisaris independen
(KOMSINDP) yang mempunyai nilai rerata sebesar 0,344794, deviasi
standar 0,11022, nilai minimum 0 dan nilai maksimum 0,5556. Hal
ini menunjukkan jumlah rerata komisaris independen adalah 34% dari jumlah seluruh
keanggotaan komisaris. Angka ini sesuai dengan persyaratan Bapepam tentang
tata kelola perusahaan yang baik sebesar 30%.
Proksi lain mekanisme
corporate governance yang adalah jumlah keangotaan komite audit
yang mempunyai rerata, simpangan baku, nilai minimum dan
nilai maksimum masing-masing 0,926471, 0,2629441, 0 dan 1. Besaran ini menunjukkan
bahwa 93% perusahaan sampel memiliki keanggotaan komite audit lebih
dari 3 (tiga) orang. Hal ini sesuai dengan yang dipersyaratkan good corporate
governance Indonesia yaitu sebanyak 3
orang.
4.1.2 Hasil Uji Asumsi Klasik
Untuk memperoleh sifat estimasi
yang bersifat BLUES (Best Linier Unbiased Estimator), sebelum melakukan uji analisis jalur dengan SPSS dilakukan
uji asusmsi klasik. Uji asumsi klasik terdiri dari uji normalitas, uji autokorelasi,
uji heteroskedastisitas dan uji multikolinieritas yang disajikan dalam Lampiran
3 untuk hipotesis 1 dan Lampiran 4 untuk hipotesis 2.
4.1.2.1 Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk
menguji apakah nilai residual terdistribusi normal atau tidak. Model
regresi yang baik memiliki nilai residual yang
berdistribusi normal dengan nilai
asymp. sig. > 0,05.
Pada Lampiran 3 hasil uji
normalitas terhadap hipotesis 1 dapat diketahui
asymp. sig.-nya adalah sebesar 0,052 (asymp. sig. > 0,05),
sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai residual data telah terdistribusi
normal. Hasil uji normalitas hipotesis 2 pada Lampiran 4 menunjukkan
asymp. sig. sebesar 0,769 (asymp. sig. > 0,05). Dengan
demikian, nilai residual hipotesis 2 juga telah
memenuhi uji normalitas. Normalitas
terhadap 2 (dua) hipotesis ini juga ditunjukkan dengan titik-titik yang menyebar pada gambar
Scatterplot.
4.1.2.2 Hasil Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk
menguji bias korelasi suatu periode pengamatan ke periode pengamatan sebelumnya.
Dalam penelitian ini, uji ini dilakukan dengan Uji Durbin-Watson. Pada
Lampiran 3 dan Lampiran 4, angka Durbin Watson menunjukkan bahwa hipotesis 1 dan hipotesis 2
terhindar dari bias autokorelasi.
4.1.2.3 Hasil Uji Heteroskesdastisitas
Uji heteroskesdastisitas
digunakan untuk melihat apakah terdapat ketidaksamaan varians
residual dari suatu pengamatan ke pengamatan lainnya. Untuk
mendeteksi hal ini, digunakan uji Glejser. Hasil dari uji tersebut terlihat pada Tabel 2
sebagai berikut:
Tabel 2
Hasil uji Heteroskesdastisitas
Hipotesis
|
F value
|
Sig. F ( > 0,05)
|
Keterangan
|
Hipotesis 1
|
0,769
|
0,549
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
Hipotesis 2
|
0,866
|
0,489
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
Hipotesis
|
t value
|
Sig. t ( > 0,05)
|
Keterangan
|
Hipotesis 1
|
|||
KPLKINST
|
-1,421
|
0,160
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
KPLKMNJR
|
0,355
|
0,724
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
KOMSINDP
|
-0,185
|
0,854
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
UKRNAUDT
|
0,410
|
0,683
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
Hipotesis 2
|
|||
KPLKINST
|
0,711
|
0,480
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
KPLKMNJR
|
-1,312
|
0,194
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
KOMSINDP
|
0,791
|
0,432
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
UKRNAUDT
|
0,054
|
0,957
|
Bebas Heteroskesdastisitas
|
Keterangan
:
KPLKINST =
Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.
4.1.2.4 Hasil Uji Multikolinieritas
Uji multikolinieritas dilakukan
untuk melihat korelasi yang tinggi antara variabel-varibel bebas
dalam suatu model regresi linier berganda. Alat statistik yang
digunakan untuk menguji multikolinieritas dalam penelitian ini adalah variance
inflation factor (VIF). Hasil dari uji ini terlihat pada Tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil
Uji Multikolinieritas
Variabel
|
Collinearity Statistics
|
Keterangan
|
|
Tolerance
|
VIF ( < 10 )
|
||
KPLKINST
|
0,908
|
1,102
|
Bebas
Multikolinieritas
|
KPLKMNJR
|
0,868
|
1,153
|
Bebas
Multikolinieritas
|
KOMSINDP
|
0,944
|
1,059
|
Bebas
Multikolinieritas
|
UKRNAUDT
|
0,840
|
1,191
|
Bebas
Multikolinieritas
|
Keterangan
:
KPLKINST =
Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan Manjerial
KOMSINDP = Komisaris Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite Audit.
4.1.3 Hasil
Uji Ketepatan Model dan Koefisien Determinasi
Uji ketepatan model diukur dari
uji F dan koefisien determinasi diperolehdari R2,
keduanya disajikan pada Tabel 4 sebagai berikut:
Tabel 4
Hasil
Uji Ketepatan Model dan Koefisien Determinasi
Hipotesis
|
F
value
|
Sig. F
(< 0,05)
|
Keterangan
|
Hipotesis 1
|
4.812
|
.002(a)
|
Model Fit
|
Hipotesis 2
|
2.917
|
.028(a)
|
Model Fit
|
Hipotesis
|
Koefsien Determinasi
(R2)
|
Keterangan
|
|
Hipotesis 1
|
0,234
|
23,40% variabel discretionery accruals disebabkan
oleh variabel mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komisaris independen dan komite audit, 76,60% sisanya
dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat dalam penelitian
ini.
|
|
Hipotesis 2
|
0,156
|
15,60% variabel return on assets disebabkan oleh variabel
mekanisme corporate governance
melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris
independen dan komite
audit, 84,40% sisanya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak
terdapat dalam penelitian ini.
|
4.1.4 Hasil Pengujian
Hipotesis
4.1.4.1 Hasil Pengujian Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance terhadap
Praktik Manajemen Laba
Hipotesis 1 dalam penelitian ini
adalah menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate
governance terhadap praktik manajemen laba. Berdasarkan hasil
uji statistik pada Lampiran 3, hasil uji hipotesis 1 disajikan pada Tabel 5 sebagai
berikut:
Tabel 5
Hasil Uji Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance terhadap Praktik Manajemen Laba
Mekanisme Corporate Governance
|
Koefisien Regresi
|
Nilai t
|
Nilai p
( < 0,05)
|
Hipotesis
|
Pengaruh
|
KPLKINST
|
0,071
|
0,609
|
0,544
|
Ditolak
|
-
|
KPLKMNJR
|
-0,362
|
-3,061
|
0,003
|
Diterima
|
Signifikans Negatif
|
KOMSINDP
|
-0,380
|
-3,348
|
0,001
|
Diterima
|
Signifikans Negatif
|
UKRNAUDT
|
0,103
|
0,856
|
0,395
|
Ditolak
|
-
|
Standar
error = 0,83466
Keterangan :
KPLKINST = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan
Manjerial
KOMSINDP = Komisaris
Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite
Audit.
Berdasarkan Tabel 5, koefisien
regresi dan nilai t pada masing-masing mekanisme corporate
governance terhadap praktik manajemen laba yang diproksikan
dengan discretionery accruals dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Koefisien regresi
mekanisme kepemilikan institusional adalah sebesar 0,071
dengan nilai t sebesar 0,609 (p = 0,544). Angka statistik ini menunjukkan bahwa pengaruh kepemilikan institusional terhadap discretionery
accruals adalah tidak signifikans secara
statistik pada level signifikansi 0,05%.
2.
Koefisien regresi
mekanisme kepemilikan manajerial adalah sebesar - 0,362 dengan
nilai t sebesar -3,061 (p = 0,003). Angka statistik ini menunjukkan
bahwa pengaruh variabel kepemilikan manajerial terhadap discretionery
accruals adalah signifikans secara
statistik pada level 0,05%.
3.
Koefisien regresi
mekanisme komisaris independen adalah sebesar 0,103 dengan
nilai t sebesar -3,348 (p = 0,003). Angka statistik ini menunjukkan bahwa
pengaruh variabel komisaris independen terhadap discretionary accruals adalah signifikans secara statistik pada level 0,05%.
4.
Koefisien regresi
mekanisme ukuran komite audit adalah sebesar 0,103 dengan
nilai t sebesar 0,856 (p = 0,395). Angka statistik ini menunjukkan bahwa
pengaruh ukuran komite audit terhadap discretionery accruals adalah
tidak signifikans secara statistik pada level signifikansi 0,05%.
4.1.4.2 Hasil Pengujian Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance terhadap
Kinerja Perusahaan
Hipotesis 2 dalam penelitian ini
adalah menguji secara empiris pengaruh mekanisme corporate
governance terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan hasil uji
statistik pada Lampiran 4, hasil uji hipotesis 2 disajikan pada Tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6
Hasil Uji Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme Corporate
Governance terhadap Kinerja Perusahaan
Mekanisme Corporate Governance
|
Koefisien Regresi
|
Nilai t
|
Nilai p
( < 0,05)
|
Hipotesis
|
Pengaruh
|
KPLKINST
|
0,133
|
1,094
|
0,278
|
Ditolak
|
-
|
KPLKMNJR
|
0,028
|
0,228
|
0,820
|
Ditolak
|
-
|
KOMSINDP
|
0,103
|
0,863
|
0,392
|
Ditolak
|
-
|
UKRNAUDT
|
-0,344
|
-2,728
|
0,008
|
Diterima
|
Signifikans Negatif
|
Standar
error = 0,83466
Keterangan :
KPLKINST = Kepemilikan Institusional
KPLKMNJR = Kepemilikan
Manjerial
KOMSINDP = Komisaris
Independen,
UKRNAUDT = Ukuran Komite
Audit.



Berdasarkan Tabel 6, koefisien
regresi dan nilai t pada masing-masing mekanisme corporate
governance terhadap kinerja perusahaan yang diproksikan dengan
return on assets dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Koefisien regresi
mekanisme kepemilikan institusional adalah sebesar 0,133
dengan nilai t sebesar 1,094 (p = 0,278). Angka statistik ini menunjukkan
bahwa pengaruh kepemilikan institusional terhadap return on
assets adalah tidak signifikans secara
statistik pada level signifikansi 0,05%.
2.
Koefisien regresi
mekanisme kepemilikan manajerial adalah sebesar 0,028 dengan
nilai t sebesar 0,228 (p = 0,820). Angka statistik ini menunjukkan bahwa
pengaruh variabel kepemilikan manajerial terhadap return on assets adalah
tidak signifikans secara statistik pada level 0,05%.
3.
Koefisien regresi
mekanisme komisaris independen adalah sebesar 0,103 dengan
nilai t sebesar 0,863 (p = 0,392). Angka statistik ini menunjukkan bahwa
pengaruh variabel komisaris independen terhadap return on assets adalah
tidak signifikans secara statistik pada level 0,05%.
4.
Koefisien regresi
mekanisme ukuran komite audit adalah sebesar -0,344 dengan
nilai t sebesar -2,728 (p = 0,008). Angka statistik ini menunjukkan bahwa
pengaruh ukuran komite audit terhadap return on assets adalah signifikans
secara statistik pada level signifikansi 0,05%.
4.2 Pembahasan
Hasil Penelitian
4.2.1 Pembahasan Hasil
Penelitian Hipotesis 1 Pengaruh Mekanisme Corporate Governance terhadap Praktik Manajemen Laba
Analisis hasil uji statistik
hipotesis 1, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap praktik manajemen laba dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional
terhadap praktik manajemen laba.
Berdasarkan hasil analisis stastistik, penelitian ini tidak
menemukan pengaruh yang signifikans antara kepemilikan institusional
terhadap praktik manajemen laba. Temuan ini konsisten dengan hasil
penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007) yang menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional bukan merupakan salah satu mekanisme corporate governance yang dapat mempengaruhi praktik manajemen laba. Namun hasil
penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian Cornett et al. (2006),
Rajgopal et al. (1999), Bushee (1998),
Midiastuty dan Machfoedz (2003)
yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional merupakan faktor yang berpengaruh negatif terhadap
manajemen laba.
Kepemilikan institusional tidak mampu memberikan pengaruh
terhadap manajemen laba meskipun 63,90% kepemilikan perusahaan
sampel dikuasai oleh institusional yang memiliki saham di atas 5%.
Hal ini disebabkan oleh perusahaan sampel, sebagaimana perusahaan
di Indonesia, merupakan tipikal perusahaan yang dikontrol oleh
keluarga atau








individu
tertentu yang kurang dapat memisahkan antara kepemilikan dan manajemen,
sehingga manajer lebih bertindak untuk kepentingan pihak-pihak tertentu
tersebut daripada investor institusional










2.
Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial
terhadap praktik manajemen laba.
Kepemilikan manajerial berpengaruh secara signifikans
terhadap praktik manajemen laba dengan pola hubungan yang negatif. Ini
berarti semakin tinggi prosentase kepemilikan manajerial, semakin rendah
besaran discretionery accruals
yang dilakukan manajer, dan sebaliknya.
Hasil penelitian ini konsisten dengan temuan Ujiyantho dan
Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan
Midiastuty dan Mahfoedz (2003), yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial
merupakan factor yang berpengaruh terhadap negatif terhadap discretionery
accruals dan sekaligus membuktikan bahwa kepemilikan manajerial dapat
membatasi praktik manajemen laba yang dilakukannya. Hal ini
disebabkan oleh manajer tidak mempunyai motivasi untuk mengelola laba
perusahaan yang juga merupakan miliknya sendiri.
3.
Pengaruh mekanisme
corporate governance melalui komisaris independen terhadap
praktik manajemen laba.
Pengaruh negatif yang signifikans ditunjukkan antara
hubungan antara komisaris independen terhadap praktik manajemen laba. Hal
ini menunjukkan semakin banyak jumlah komisaris independen,
semakin rendah besaran manajemen laba yang dilakukan oleh manajer,
dan sebaliknya. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil
penelitian Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006), Xie
et al. (2003), Cornett et al. (2006) yang menyimpulkan dewan komisaris yang berasal dari
luar perusahaan (outside directors) berpengaruh secara
negatif terhadap tindakan manajemen laba. Hal ini membuktikan bahwa komisaris independen merupakan mekanisme pengawasan terhadap kinerja manajemen dalam mengelola perusahaan yang dipercayakan
stakeholders.
4.
Pengaruh mekanisme
corporate governance melalui ukuran komite audit terhadap
praktik manajemen laba.
Penelitian memberikan temuan tidak adanya pengaruh yang
signifikans komite audit manajemen laba. Hasil ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian Chtourou et al. (2001) dan Xie et al.
(2003) yang menyatakan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap manajemen laba.
Dalam penelitian ini, 93% dari perusahaan sampel memiliki
ukuran komite audit yang telah memenuhi persyaratan sebagai tata kelola
yang baik, namun secara empiris tidak dapat membatasi pengelolaan
laba. Hal ini disebabkan oleh komite audit tidak menunjukkan
eksistensinya dalam menjalankan fungsi pengawasan dan hanya melakukan
tugas-tugas rutin seperti review laporan dan seleksi auditor eksternal, dan
tidak mempertanyakan secara kritis dan menganalisis secara
mendalam kondisi pengendalian dan pelaksanaan tanggung jawab
oleh manajemen 



(Sommers,
2001). Komite audit dibentuk hanya sebagai formalitas saja dalam
memenuhi regulasi penerapan corporate governace.





4.2.2
Pembahasan Hasil Penelitian Hipotesis 2 Pengaruh Mekanisme
Corporate Governance terhadap Kinerja Perusahaan.
Penjelasan hasil pengujian
hipotesis 2, yaitu pengaruh mekanisme corporate governance terhadap kinerja perusahaan adalah sebagai berikut:
1.
Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional
terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini memberikan temuan bahwa kepemilikan
institusional tidak memberikan pengaruh yang signifikans terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan
temuan ini, dapat dikatakan bahwa nilai perusahaan tidak ditentukan
oleh kepemilikan oleh institusi yang dianggap sebagai investor yang
canggih dalam memanfaatkan informasi keuangan dibandingkan dengan
investor noninstitusional.
Hasil ini bertentangan dengan hasil penelitian Cornett
et al. (2006) dan Rajgopal et al. (1999) yang membuktikan kepemilikan
institusional merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan.
2.
Pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan manajerial
terhadap kinerja perusahaan.
Penelitian ini tidak menemukan pengaruh yang signifikans
antara kepemilikan manajerial terhadap kinerja perusahaan. Hasil
penelitian ini berbeda dengan Bhagat dan Bolton (2007) yang menemukan
pengaruh yang positif antara kepemilikan manajerial dengan kinerja
operasional. Tetapi, sesuai dengan hasil
temuan Beiner et al. (2003) tidak menghasilkan pengaruh
yang signifikans antara kepemilikan manajerial dan komisaris
independen terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian ini
membuktikan bahwa manajer yang juga sebagai shareholders relatif tidak melakukan intervensi dalam menentukan kebijakan-kebijakan
yang dapat meningkatkan nilai perusahaan yang juga merupakan
miliknya sendiri.
3.
Pengaruh mekanisme
corporate governance melalui komisaris independen terhadap
kinerja perusahaan.
Penelitian ini menunjukkan tidak adanya pengaruh yang
signifikans antara komisaris
independen dengan kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini berbeda
dengan temuan Larcker et al. (2007), Siallagan dan Machfoedz (2006),
Larcker et al. (2005), namun mendukung hasil penelitian Beiner et. al. (2003) menyatakan
tidak ada pengaruh yang signifikans antara komisaris independen
terhadap nilai perusahaan.
Berdasarkan temuan atas hasil penelitian ini dapat
dikatakan bahwa komisaris dari luar perusahaan relatif kurang efektif dalam
melakukan monitoring jalannya
perusahaan. Meskipun jumlah komisaris independen perusahaan sampel
adalah 34,48% dari 30% sebagaimana yang dipersyaratkan Bapepam, komisaris independen seharusnya dapat mengawasi
dan memberikan saran bagi manajemen untuk meningkatkan
kinerja perusahaan. Hal ini disinyalir
disebabkan oleh kurangnya kompetensi
dan independensi yang dibutuhkan dari komisaris independen





Penyebab lainnya adalah ketentuan minimum tentang
komisaris independen
sebesar 30% dirasa belum cukup tinggi untuk dapat mendominasi
kebijkan yang diambil dalam dewan komisaris. Jika
komisaris independen merupakan
pihak mayoritas (> 50%) maka komisaris independen
mungkin dapat lebih efektif dalam menjalankan
monitoring dalam perusahaan.
4.
Pengaruh mekanisme
corporate governance melalui ukuran komite audit
terhadap kinerja perusahaan.
Ukuran komite audit berpengaruh secara negatif signifikans
terhadap kinerja perusahaan. Hal berarti semakin besar ukuran komite
audit semakin rendah kinerja perusahaan, dan sebaliknya. Hasil
ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Siallagan dan Machfoedz
(2006) yang menyimpulkan bahwa komite audit merupakan faktor yang
berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan.
Meskipun hampir seluruh perusahaan sampel telah memenuhi
ukuran komite audit yang ditentukan oleh Bapepam tentang tata
kelola perusahaan yang baik yaitu ukuran komite audit minimal 3 (tiga orang),
komite audit kurang efektif berperan dalam meningkatkan kinerja
perusahaan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya koordinasi dan komunikasi
antaranggota komite audit dalam melakukan monitoring dan
memberikan pendapat profesional dan independen dalam perusahaan.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini menguji secara
empiris pengaruh mekanisme corporate governance melalui kepemilikan institusional, kepemilikan manajemen,
jumlah komisaris independen dan ukuran komite audit terhadap
praktik manajemen laba. Selain itu, penelitian ini juga menguji secara empiris
pengaruh mekanisme corporate governance
melalui empat proksi yang sama tersebut terhadap kinerja perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan
mekanisme corporate governance yang berpengaruh terhadap
praktik manajemen laba adalah kepemilikan manajerial dan komisaris
independen. Kepemilikan manajerial yang berpengaruh secara negatif terhadap praktik manajemen laba menunjukkan bahwa manajer
yang juga merupakan shareholders melakukan intervensi dalam pengelolaan laba perusahaan
yang juga miliknya sendiri. Hasil temuan ini konsiten dengan hasil penelitian
Ujiyantho dan Pramuka (2007), Klein (2006), Bowen et al. (2003), dan Midiastuty
dan Mahfoedz (2003). Pengaruh negatif komisaris independen terhadap
praktik manajemen laba membuktikan efektifnya pengawasan komisaris dari
luar perusahaan dalam membatasi manajemen laba. Hasil ini konsisten dengan
hasil penelitian Jeanjean (2000), Chtourou et al. (2001), Klein (2006),
Xie et al. (2003), Cornett
et al. (2006). Di lain pihak, kepemilikan institusional tidak berpengaruh
secara signifikans terhadap pengelolaan laba. Temuan ini 











bertentangan
dengan hasil penelitian Cornett et al. (2006), Rajgopal et al.
(1999), Bushee (1998), Midiastuty
dan Machfoedz (2003), namun mendukung penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007). Mekanisme corporate
governance melalui ukuran audit juga tidak berpengaruh secara
signifikans terhadap praktik manajemen laba dalam penelitian ini,
sehingga tidak sesuai dengan hasil penelitian Chtourou et al. (2001)
dan Xie et al. (2003) yang menyatakan bahwa komite audit merupakan faktor
yang berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.













Hasil penelitian yang kedua
memberikan temuan bahwa mekanisme corporate governance ukuran komite audit berpengaruh secara negatif terhadap kinerja
perusahaan. Hal ini berarti semakin besar ukuran komite audit semakin rendah
kinerja perusahaan, dan sebaliknya. Hal ini menunjukkan kurangnya komunikasi
dan koordinasi komite audit dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Temuan
ini tidak konsisten dengan hasil penelitian Siallagan dan Machfoedz (2006)
yang menyimpulkan bahwa komite audit merupakan faktor yang berpengaruh
positif terhadap kinerja perusahaan. Di lain pihak, mekanisme corporate
governance melalui kepemilikan
institusional dalam penelitian ini tidak berpengaruh secara
signifikans terhadap kinerja perusahaan. Hal ini tidak sesuai dengan
temuan Cornett et al. (2006) dan Rajgopal et al. (1999). Demikian
pula, dengan kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap
kinerja perusahaan, sehingga berbeda dengan Bhagat dan Bolton (2007) namun
sesuai dengan hasil temuan Beiner et al. (2003). Dalam penelitian ini
juga tidak ditemukan adanya pengaruh yang signifikans komisaris
independen terhadap kinerja perusahaan. Hasil ini bertentang
dengan temuan Larcker et al. (2007), Siallagan dan 





Machfoedz
(2006), Larcker et al. (2005), namun mendukung hasil penelitian Beiner
et al. (2003)







Berdasarkan hasil penelitian di
atas, dapat diperoleh benang merah bahwa penerapan corporate
governance di Indonesa relatif hanya sebatas mengikuti tren yang
berkembang saat ini dan hanya untuk menunjukkan kepatuhan atas ketentuan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini didukung oleh kondisi lemahnya
kepastian dan penegakan hukum, budaya dan lingkungan bisnis yang family-owned. Perusahaan-perusahaan publik seharusnya menyadari bahwa
tata kelola perusahaan yang baik merupakan suatu kebutuhan agar
dapat mencapai kinerja yang berkualitas dan berkesinambungan.
5.2 Saran
Beberapa keterbatasan dan kelemahan atas hasil penelitian
ini yang perlu dijadikan bahan revisi bagi penelitian selanjutnya adalah
sebagai berikut:
1.
Jumlah sampel yang
digunakan dalam penelitian ini relatif kecil dan
periode penelitian relatif
pendek sehingga dipertimbangkan untuk memperbesar jumlah
sampel dan memperpanjang periode pengamatan
2.
Tidak mempertimbangkan kejadian-kejadian lain yang memiliki konsekuensi
ekonomi terutama makro ekonomi dan faktor-faktor di luar ekonomi.
3.
Tidak mempertimbangkan
kejadian-kejadian penting internal perusahaan seperti company
restructuring, merger, perubahan kelompok industry untuk
melihat praktik manajemen laba dengan lebih jelas.
4.
Hanya menggunakan
1 (satu) proksi kinerja perusahaan sehingga untuk
penelitian berikutnya perlu menggunakan
Tobin’s Q dan proksi kinerja lainnya.
5.
Perlu menambah
indikator lain sebagai proksi corporate governance seperti
kepatuhan pengungkapan wajib atas informasi keuangan dan ketepatwaktuan
penyampaian informasi keuangan, ukuran dewan direksi.
DAFTAR PUSTAKA
Ayres, Frances L. 1994.
Perceptions of Earnings Quality: What Managers Need to
Know. Management Accounting, Vol. 75, No.
9, Maret 1994, 27.
Bauer, Rob, Nadja Günster, dan
Roger Otten. 2003. Empirical Evidence on Corporate
Governance in Europe. Social Science Research Network (SSRN),Oktober 2003.
Baird, M. 2000. The Proper of
Governance of Companies will Become as Crucial to
the World Economy as the Proper Governing of Countries. Paper.
Beiner, Stefan, Wolfgang
Drobetz, Frank Schmid, Heinz Zimmermann. 2003. I Board
Size an Independent Corporate Governance Mechanism?. Social Science Research
Network (SSRN), Agustus 2003.
Bhagat, Sanjai dan Brian Bolton.
2007. Corporate Governance and Firm Performance. Social
Science Research Network (SSRN), Juni
2007.
Black, Bernard. 2001. Does
Corporate Governance Matter? A Crude Test Using Russian
Data. Social Science Research Network
(SSRN), Januari 2001. http://ssrn.com/abstract=252706.
Bowen, Robert M., Shivaram
Rajgopal dan Mohan Venkatachalam. Accounting Discretion,
Corporate Governance and Firm Performance. Social Science Research
Network (SSRN), September 2003.
Bushee, Brian. 1998.
Institutional Investors, Long-term Investment, and Earning Management.
Social Science Research Network (SSRN),
Social Science Research Network (SSRN), Januari 1998.
Chtourou, Sonda Marrakchi, Jean
Bedard dan Lucie Courteau. 2001. Corporate Governance
and Earnings Management. Social Science Research Network (SSRN),
April 2001. http://papers.ssrn.com/abstract=275053.
Cornett, Marcia Millon, Alan J.
Marcus, Anthony Saunders dan Hassan Tehranian. 2006. Earnings Management,
Corporate Governance, and True Financial Performance.
Social Science Research Network (SSRN),
Juli 2006. http://ssrn.com/abstract=886142.
Dechow, Patricia M, Richard G.
Sloan dan Amy P. Sweney. 1995. Detecting Earnings
Management. Accounting Review, Vol. 70,
No. 2, April 1995, 193-225.
-------------, Causes and Consequences of
Earnings Manipulations: An Analysis of Firms Subject to Enforcement
Actions by the SEC. Contemporary Accounting
Research. ABI/INFORM Global. Musim Semi 1996, 1-36.
Durnev, Art dan E. Han Kim.
2005. To Steal or Not to Steal: Firm Attributes, Legal
Environment, and Valuation. Journal of Finance, Vol. 60, No. 3, Juni 2005, 1461-1493.
Fama, Eugene F. dan Michael C.
Jensen. 1983. Separation of Ownership and Control.
Journal of Law and Economics, Vol. 26,
Juni 1983, 1-32.
Gompers, Paul A., Joy L. Ishii, dan
Andrew Metrick. 2003. Corporate Governance And Equity Prices. Social
Science Research Network (SSRN), Pebruari 2003.
Gumanti, Tatang Ary. 2000.
Earnings Management: Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan, Vol. 2, No. 2, Nopember 2000, 104-115.
Healy, Paul M. dan James M.
Wahlen. 1999. A Review of the Earning Management Literature
and Its Implications for Standard Setting. Accounting Horizons, Vol. 13, No. 4, Desember 1999, 365-383.
Indonesian Capital Market Directory. 2006-2009.
Jamilah, Siti, Wiwik Herawati,
Kristiningsih, Matheous Tamonsang, Lestari dan Joyo Diharjo. 2008.
Modul: Aplikasi Komputer Statistik dan Manajemen. Materi:SPSS, QM, dan FC.
Laboratorium Komputer Fakultas Ekonomi Universitas Wijaya
Kusuma Surabaya.
Jeanjean, Thomas. 2000.
Corporate Governance and Earnings Management. First Draft. Maret 2000.
Jensen, Michael C. dan William
H. Meckling. 1976. Theory of the Firm:Managerial Behavior, Agency Cost, and
Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, No. 4, Oktober 1976, 305-360.
Jogiyanto, H.M. 2004. Metodologi
Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman. Edisi 2004/2005.
Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Kalbers, Lawrence P. dan Timothy
J. Fogarty. 1993. Audit Committee Effectiveness: An
Empirical Investigation of the Contribution of Power”. Auditing:
A Journal of Practice & Theory 12,
Vol. 1, Musim Semi 1993.
Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor KEP-29/PM/2004 tanggal 24 September 2004.
Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja Komite Audit.
Klein, April. 2006. Audit
Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings
Management. Social Science Research Network
(SSRN). Oktober 2006. http://papers.ssrn.com/paper.taf?abstract_id=246674.
Kusuma, Hadri. 2006. Dampak
Manajemen Laba terhadap Relevansi Informasi Akuntansi: Bukti
Empiris dari Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 8, No.
1, Mei 2006, 1-12.
Larcker, David F., Scott A.
Richardson, Irema Tuna. 2005. How Important is Corporate
Governance?. Social Science Research Network
(SSRN). Mei 2005.
Midiastuty, Pratana Puspa dan Mas’ud Machfoedz. 2003. Analisis Hubungan Corporate
Governance dan Indikasi Manajemen Laba.
Simposium Nasional Akuntansi VI Surabaya, Oktober 2003, 176-199.
Morck, Randall, Andrei Shleifer,
and Robert W. Vishny. 1988. Management ownership and market
valuation: An empirical analysis. Journal of Financial Economics 20: 293-315.
Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia. 2006. Komite Nasional Kebijakan
Governance.
Peraturan Bapepam Nomor IX.I.5
tanggal 24 September 2004 tentang Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Kerja
Komite Audit.
Pradhono, dan Yulius Jogi
Christiawan. 2004. Pengaruh Economic Value Added, Residual
Income, Earnings dan Arus Kas Operasi
terhadap Return yang Diterima oleh Pemegang Saham (Studi pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta).
Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 6, No. 2, Nopember 2004,
140-166.
Rajgopal, Shivaram, Mohan
Venkatachalam, James Jiambalvo. 1999. “The Role Institutional Investors
in Corporate Governance: An Empirical Investigation”. Social
Science Research Network (SSRN). Maret
1999.
Richardson, Vernon J. 2000.
Information Asymmetry and Earnings Management: Some
Evidence. Review of Quantitative Finance and Accounting, Vol. 15, No. 4, Desember 2000, 325-347.
Scott, William R. 2009.
Financial Accounting Theory. Fifth Edition. New Jersey: Prentice
Hall Business Publishing
Shleifer, Andrei dan Robert W.
Vishny. 1997. A Survey of Corporat Governance. Journal of
Finance, Vol. 52, No. 2, Juni 1997,
737-783.
Siallagan, Hamonangan dan Mas’ud
Machfoedz. 2006. Mekanisme Corporate Governance, Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional
Akuntansi IX Padang, Agustus 2006, K-AKPM 13, 1-22.
Siregar, Sylvia Veronica N.P dan
Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran
Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Simposium Nasional Akuntansi
VIII Solo, September 2005, 475-490.
Sommers Jr., A.A. 1992.
Auditing Audit Committees: An Education Opportunity for
Auditors. Journal of Accountancy, Vol.
173, No. 66, 112-113.
Sujarweni, V. Wiratna. 2007.
Belajar Mudah SPSS untuk Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan
Umum. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Global Media Informasi.
Sulistyanto, H. Sri. 2008.
Manajemen Laba: Teori dan Model Empiris. Jakarta: PT. Grasindo.
Teshima, Nobuyuki dan Akinobu
Shuto. 2005. Managerial Ownership and Earnings Management:
Theory and Evidence. Social Science Research Network (SSRN).
Mei 2005.
Ujiyantho, M.uh Arief dan
Bambang Agus Pramuka. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan (Studi pada Perusahaan
Go Public Sektor
Manukatur). Simposium Nasional Akuntansi X Makasar, Juli 2007, AKPM-01,
1-26.
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Whelan, Catherine dan Ray
McNamara. 2004. The Impact of Earnings Management on the
Value-relevance of Financial Statement Information. Social Science
Research Network (SSRN), Juli 2004. http://ssrn.com/abstract=585704.
Xie, Biao, Wallace N. Davidson
III dan Peter J. DaDalt. 2003. Earnings Management and
Corporate Governance: The Roles of the Board and the Audit Committee. Science Research Network (SSRN), juli 2003. http://ssrn.com/abstract=304195.
Lampiran 1 : Sampel Perusahaan.
Automotive and Allied Products
|
1
|
Astra International Tbk, PT.
|
2
|
Hexindo Adiperkasa Tbk., PT.
|
|
3
|
Sugi Samapersada Tbk, PT.
|
|
4
|
Tunas Ridean Tbk, PT.
|
|
5
|
United Tractors Tbk, PT.
|
|
Chemical and Allied Products
|
6
|
AKR Corporindo Tbk, PT.
|
7
|
Lautan Luas Tbk, PT.
|
|
Electronic and Office Equipment
|
8
|
Astra Graphia Tbk, PT.
|
9
|
Metrodata Electronics Tbk, PT.
|
|
10
|
Multipolar Corporation Tbk, PT.
|
|
Food and Beverages
|
11
|
Fast Food Indonesia Tbk, PT.
|
Metal and Allied Products
|
12
|
Tira Austenite Tbk, PT.
|
Pharmaceuticals
|
13
|
Kalbe Farma Tbk, PT.
|
Photographic Equipment
|
14
|
Inter Delta Tbk, PT.
|
15
|
Modern Internasional Tbk, PT. (formerly
Modern Photo Film Company)
|
|
16
|
Perdana Bangun Pusaka Tbk, PT.
|
|
Tobacco
Manufacturers
|
17
|
Bentoel International Investama Tbk, PT.
|
Lampiran
2 Hasil Uji Statistik Deskriptif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar